Rabu, 25 Mei 2016

Makalah HADITS AHKAM TENTANG PERADILAN



DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................ ...1
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ...2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ...3 PENDAHULUAN/PERADILAN…………………………………………………………..4
PEMBAHASAN
A.    TIGA TIPE HAKIM…………………………………………………………………4
B.     PERLUNYA KESTABILAN JIWA HAKIM………………………………………6
C.     IJTIHAD HAKIM…………………………………………………………………...7
PENUTUP/SIMPULAN…………………………………………………………………......9
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….....10
















PERADILAN
Peradilan berasal dari kata “adil” yang mendapat imbuhan “pe-an”. Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, dengan tambahan imbuhan “pe-an” berarti tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Para ahli fiQih memberikan pengertian peradilan sebagai suatu keputusan produk pemerintah atau menetapkan hukum syar’i dengan jalan penetapan.
Peradilan mempunyai fungsi yang sangat mulia di antaranya :
-          Mendamaikan dua belah pihak yang bersengketa dengan berpedoman kepada hukum Allah SWT.
-          Menetapkan sanksi dan melaksanakannya atas setiap pelanggaran yang melanggar hukum.
Hikmah dengan adanya peradilan di antaranya, dapat mewujudkan :
-          Terciptanya keadilan dalam masyarakat.
-          Terciptanya perdamaian, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat.
-          Terwujudnya aparat pemerintahan yang jujur, bersih, dan berwibawa.
-          Terpeliharanya kehidupan bagi setiap orang dan alam lingkungannya.
Di dalam sebuah peradilan pasti ada hakim, hakim adalah orang yang di angkat oleh penguasa untuk menyelenggarakan suatu dakwaan dan persengketaan untuk memutuskan, mengakhiri, atau menyelesaikan suatu perkara tersebut.
Syarat untuk menjadi seorang hakim adalah :
-          Beragama Islam.
-          Baligh.
-          Berakal.
-          Adil.
-          Sehat jasmani dan rohani.
-          Dapat membaca dan menulis.
-          Dhabit/kuat ingatannya/tidak pelupa.
-          Memahami dasar-dasar hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
-          Memahami dengan baik metode ijtihad serta mampu melaksanakannya.
-          Memahami bahasa arab dan segala cabang ilmunya dengan baik.

PEMBAHASAN
A.    Tiga Tipe Hakim.
عَنْ بريدةَ رضي الله عنهُ قال: قال رسولُ اللّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: : "القضاة ثلاثةٌ: اثنان في النّار وواحد في الجنّةِ: رجلٌ عَرَفَ الحقَّ فقضى بهِ فهوَ في الجنّةِ، ورجلٌ عرف الحقَّ فلم يقضِ بهِ وجارَ في الحكم فهُوَ في النّار، ورجلٌ لمْ يعْرف الحقَّ فقضى للناس على جَهْل فَهُوَ في النّار" (رواهُ الأربعةُ وصحّحهُ الحاكمُ)      
Artinya : “diriwayatkan dari Buraidah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda. “Hakim itu ada tiga macam, yaitu dua orang berada (akan menjadi penghuni) di neraka dan seorang lagi berada (akan menjadi penghuni) di surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, kemudian dia menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut maka dia berada (akan menjadi penghuni) di surga; Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut dan menyimpang dari kebenaran dalam menerapkan hukum, dia berada (akan menjadi penghuni) di neraka; dan Seorang hakim yang tidak mengetahui kebenaran, kemudian menetapkan hukum berdasarkan ketidaktahuannya, dia berada (akan menjadi penghuni) di neraka”. (H.R. Imam yang empat dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim).
# Penjelasan Umum.
Islam sangat menghormati dan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi serta menganggap mereka sebagai pemelihara atau penjaga para Rasul selama mereka tidak memfokuskan tujuan keilmuannya semata-mata untuk memperoleh kehidupan duniawi.[1]
Orang yang berilmu menurut pandangan Islam, bukanlah orang yang mengetahui sesuatu tanpa ada realisasi dalam bentuk perbuatan sebab ilmu itu harus dibarengi oleh pengamalannya. Suatu ilmu tidak layak mendapatkan pengakuan apabila tidak membawa dampak perbaikan. Oleh karena itu, orang berilmu yang mendasarkan pencarian ilmunya untuk membuat kerusakan dimuka bumi, atau menghancurkan nilai-nilai mulia, menghakimi orang lain, atau menjauhkan pemiliknya dari akhlak-akhlak terpuji, bukanlah orang yang berilmu melainkan di anggap sebagai orang bodoh yang merusak. Tidaklah dikatakan berilmu orang yang menyuruh kepada kemunkaran dan mencegah terhadap perbuatan baik, atau mendorong orang lain untuk musyrik kepada Allah SWT dan memperdaya mereka dari mengingat-Nya.[2]
# Pemahaman Kandungan Hadits.
-          Di dalam hadits di atas terdapat penjelasan tentang keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut.
-          Ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran.
-          Perumpamaan hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu bagaikan orang bodoh yang menetapkan hukum dengan kebodohannya. Tempatnya adalah di neraka.
-          Orang bodoh (tidak memenuhi persyaratan seorang hakim) yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, maka dia terancam oleh api neraka.
-          Keputusan hakim yang dapat diberlakukan adalah keputusan hakim kelompok pertama, yakni hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.

B.     Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim.
وعنْ أبي بكرة رضي الله عنهُ قالَ: سمعتُ رسولَ اللّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يَقُولُ: "لا يحْكُمْ أَحَدٌ بَيْنَ اثنَيْنِ وهُو غَضْبانُ" )مُتّفق عليه.(
 Artinya : diriwayatkan dari Abi Bakrah RA, dia berkata : aku telah mendengar “Rasulullah SAW. Bersabda, “Janganlah kamu memutuskan hukuman di antara dua orang dalam keadaan marah”. (Muttafaq alaih).
# Penjelasan Umum.
Keadilan merupakan faktor penopang kemakmuran dan pembangkit ketenangan jiwa. Melalui keadilan, kebenaran dapat ditegakkan dan kebatilan dapat dihancurkan. Hal ini karena di bawah lindungan keadilan itulah, orang yang lemah merasa terlindungi dan terlepas dari pemerasan dan kekuasaan tangan-tangan zalim. Di bawah lindungan keadilan, orang lemah dapat menjadi kuat dalam menghadapi kebatilan yang dilancarkan orang-orang kuat yang zalim dan di bawah sinar keadilan itu pula jalan kehidupan dapat menjanjikan kebahagiaan. Sebaliknya, di bawah kekuatan sinar keadilan ini pula, gema penyimpangan dan penyelewengan menjadi sirna.[3]
Kenyataan ini dapat terealisasikan kalau pelaku keadilan itu berada dalam kondisi sadar terhadap berbagai pengaduan dan pengakuan yang dihadapkan kepadanya sehingga dia dapat bersikap penuh objektif yang akurat, analisis yang cermat, terbebas dari unsur-unsur penyimpangan yang dapat memutarbalikkan keadaan, tidak tergoyahkan oleh hawa nafsu, tidak tertawan oleh perasaan cintanya, terbebas dari kecenderungan dan kepentingan tertentu yang dapat merusak keadilan dan menimbulkan ketidaktentraman dan gejolak ketidakpuasan di antara sesama manusia.
Oleh karena itu pelaku penegak keadilan (seperti hakim) harus memelihara diri dari kondisi tertentu dan sikap tertentu yang dapat mendorong dirinya untuk berbuat tidak adil dalam memutus suatu pengaduan dan pengakuan yang disampaikan oleh para pencari keadilan. Umpamanya, seorang pelaku penegak keadilan tidak diperkenankan dan memaksakan dirinya untuk memutus sebuah pengaduan dalam kondisi emosi yang tidak stabil, dalam kondisi marah sebagaimana tercantum dalam hadits di atas atau kondisi-kondisi ketidakstabilan lainnya.[4]
# Pemahaman Kandungan Hadits.
-          Hadits di atas menyatakan larangan terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah.
-          Alasan terhadap larangan tersebut karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi sehingga tidak dapat berpikir dan berijtihad.
-          Para ulama juga memasukkan kondisi-kondisi lainnya yang mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi, seperti lapar atau kenyang dan perasaan senang dan sedih yang berlebihan.
-          Di dalam hadits tersebut tersirat perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.
-          Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka keputusannya dapat diterima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan kehati-hatian.

C.    Ijtihad Hakim.
وعن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يقول: إذا حَكَمَ الحَاكِمُ فاجْتَهَدَ ثمَّ أصَابَ فلَهُ أَجران، وإذا حَكَمَ فاجتهدَ ثمَّ أخطأَ فلهُ أجر" متَّفق عليه                                                                     
Artinya : diriwayatkan dari Amar bin Al-Ash RA, sesungguhnya dia mendengar “Rasulullah SAW, bersabda : “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, dia akan mendapat dua pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan sesuatu perkara dengan berijtihad tetapi ijtihadnya itu tidak benar, dia akan memperoleh satu pahala”. (Muttafaq alaih).
# Penjelasan Umum.
Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Meskipun keberadaan ijtihad merupakan hasil usaha keras seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam menentukan pendapatnya mengenai masalah-masalah pelik dan meragukan dalam lapangan hukum, ijtihad memegang peranan penting dalam agama Islam.[5]
# Pemahaman Kandungan Hadits.
-          Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami bahwa di dalam kebenaran dan ketepatan penetapan hukum terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran,meskipun salah, terdapat satu balasan pahala.
-          Orang yang menjadi objek sasaran dari hadits ini adalah mereka yang ahli dalam masalah hukum, seperti seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang hakim, di antaranya adalah pengetahuan dan penguasaan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan berbagai ilmunya, penguasaan terhadap bahasa yang tertulis dalam bentuk-bentuk referensi sumber hukum Islam, pengetahuan terhadap pendapat-pendapat yang dimiliki oleh para ulama, baik pendapat yang disepakati maupun pendapat yang diperselisihkan, dan persyaratan-persyaratan lainnya.
Adapun bagi orang yang tidak ahli dalam masalah hukum, ketetapan ini (ketetapan dua atau satu pahala) tidak dapat berlaku. Orang yang tidak ahli dalam masalah hukum, kemudian dia menetapkan hukum, maka orang tersebut tidak akan memperoleh pahala, bahkan sebaliknya dia berdosa. Ketetapannya tidak dapat diberlakukan meskipun keputusannya itu sesuai dengan kebenaran.
-          Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang mujtahid yang melakukan ijtihad secara benar dan seseorang (yang bukan mujtahid) yang melakukan ijtihad dengan benar. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kedua kelompok tersebut tidak ada bedanya, sebab keduanya sama-sama telah menetapkan hukum yang sesuai dengan ketetapan hukum Allah SWT. Sebagian lagi menyatakan bahwa orang yang tidak ahli dalam masalah hukum, kemudian dia menetapkan hukum, maka orang tersebut di anggap salah, tetapi dia tidak berdosa karena ada alasan-alasan tertentu. Menurut Imam Asy-Syafi’i, pendapat inilah yang paling benar. Namun demikian, kedua kelompok tersebut sama-sama mendasari pendapatnya dengan hadits di atas. Menurut pendapat yang pertama, perolehan pahala bagi seseorang yang di anggap salah (tidak tepat) untuk menetapkan hukum itu tiada lain adalah karena ketetapan atau kesesuaiannya dengan kebenaran Allah SWT. Adapun menurut pendapat yang kedua, orang tersebut dapat memperoleh pahala karena usahanya yang susah payah dalam berijtihad, bukan karena kebenaran atau ketetapannya dalam berijtihad.
-          Sebagian orang berpendapat bahwa perbedaan tersebut terjadi dalam menetapkan masalah-masalah furu’, sedangkan dalam masalah dasar-dasar ketauhidan, keduanya dapat diperlakukan sama.

SIMPULAN
Peradilan merupakan suatu lembaga yang menghasilkan suatu keputusan produk pemerintah atau menetapkan hukum syar’i dengan jalan penetapan. Berfungsi untuk mendamaikan dua belah pihak yang bersengketa dan menetapkan sanksi atas setiap pelanggaran yang melanggar hukum.
Dalam peradilan diperlukan seorang hakim yang sesuai dengan persyaratan yang telah ada dan sesuai dengan kriteria hakim yang telah di sabdakan oleh junjungan kita baginda Rasulullah SAW.




















DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Ismail Al-San’ani, Subulus salam.
Taufik Rahman, Hadis-hadis hukum, Cet 1, (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2000).

                                             


[1] . Taufik rahman,  Hadis-hadis hukum,  hlm 174.
[2] . Ibid,  hlm 175.
[3] . Ibid,  hlm 177.
[4] . Ibid,  hlm 178.
[5] . Ibid,  hlm 180-181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar