DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................................ ...1
KATA
PENGANTAR......................................................................................................... ...2
DAFTAR
ISI....................................................................................................................... ...3
PENDAHULUAN/PERADILAN…………………………………………………………..4
PEMBAHASAN
A. TIGA
TIPE HAKIM…………………………………………………………………4
B. PERLUNYA
KESTABILAN JIWA HAKIM………………………………………6
C. IJTIHAD
HAKIM…………………………………………………………………...7
PENUTUP/SIMPULAN…………………………………………………………………......9
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………….....10
PERADILAN
Peradilan berasal dari kata “adil” yang
mendapat imbuhan “pe-an”. Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya,
dengan tambahan imbuhan “pe-an” berarti tempat atau lembaga yang menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Para ahli fiQih memberikan pengertian peradilan sebagai
suatu keputusan produk pemerintah atau menetapkan hukum syar’i dengan jalan
penetapan.
Peradilan mempunyai fungsi yang sangat
mulia di antaranya :
-
Mendamaikan dua belah pihak yang bersengketa dengan
berpedoman kepada hukum Allah SWT.
-
Menetapkan sanksi dan melaksanakannya atas setiap
pelanggaran yang melanggar hukum.
Hikmah dengan adanya peradilan di
antaranya, dapat mewujudkan :
-
Terciptanya keadilan dalam masyarakat.
-
Terciptanya perdamaian, keamanan, dan ketertiban dalam
masyarakat.
-
Terwujudnya aparat pemerintahan yang jujur, bersih,
dan berwibawa.
-
Terpeliharanya kehidupan bagi setiap orang dan alam
lingkungannya.
Di dalam sebuah peradilan pasti ada hakim,
hakim adalah orang yang di angkat oleh penguasa untuk menyelenggarakan suatu
dakwaan dan persengketaan untuk memutuskan, mengakhiri, atau menyelesaikan
suatu perkara tersebut.
Syarat untuk menjadi seorang hakim adalah :
-
Beragama Islam.
-
Baligh.
-
Berakal.
-
Adil.
-
Sehat jasmani dan rohani.
-
Dapat membaca dan menulis.
-
Dhabit/kuat ingatannya/tidak pelupa.
-
Memahami dasar-dasar hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
-
Memahami dengan baik metode ijtihad serta mampu
melaksanakannya.
-
Memahami bahasa arab dan segala cabang ilmunya dengan
baik.
PEMBAHASAN
A. Tiga Tipe
Hakim.
عَنْ بريدةَ رضي الله عنهُ قال: قال رسولُ اللّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ
وَسَلّم: : "القضاة ثلاثةٌ: اثنان في النّار وواحد في الجنّةِ: رجلٌ عَرَفَ
الحقَّ فقضى بهِ فهوَ في الجنّةِ، ورجلٌ عرف الحقَّ فلم يقضِ بهِ وجارَ في الحكم
فهُوَ في النّار، ورجلٌ لمْ يعْرف الحقَّ فقضى للناس على جَهْل فَهُوَ في
النّار" (رواهُ الأربعةُ وصحّحهُ الحاكمُ)
Artinya : “diriwayatkan dari Buraidah
RA, dia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda. “Hakim itu ada tiga macam,
yaitu dua orang berada (akan menjadi penghuni) di neraka dan seorang lagi
berada (akan menjadi penghuni) di surga. Seorang hakim yang mengetahui
kebenaran, kemudian dia menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut maka
dia berada (akan menjadi penghuni) di surga; Seorang hakim yang mengetahui
kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut dan
menyimpang dari kebenaran dalam menerapkan hukum, dia berada (akan menjadi
penghuni) di neraka; dan Seorang hakim yang tidak mengetahui kebenaran,
kemudian menetapkan hukum berdasarkan ketidaktahuannya, dia berada (akan menjadi
penghuni) di neraka”. (H.R. Imam yang empat dan dinyatakan shahih oleh
Al-Hakim).
# Penjelasan Umum.
Islam sangat menghormati dan mengangkat
derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi serta menganggap
mereka sebagai pemelihara atau penjaga para Rasul selama mereka tidak
memfokuskan tujuan keilmuannya semata-mata untuk memperoleh kehidupan duniawi.[1]
Orang yang berilmu menurut pandangan Islam,
bukanlah orang yang mengetahui sesuatu tanpa ada realisasi dalam bentuk
perbuatan sebab ilmu itu harus dibarengi oleh pengamalannya. Suatu ilmu tidak
layak mendapatkan pengakuan apabila tidak membawa dampak perbaikan. Oleh karena
itu, orang berilmu yang mendasarkan pencarian ilmunya untuk membuat kerusakan
dimuka bumi, atau menghancurkan nilai-nilai mulia, menghakimi orang lain, atau
menjauhkan pemiliknya dari akhlak-akhlak terpuji, bukanlah orang yang berilmu
melainkan di anggap sebagai orang bodoh yang merusak. Tidaklah dikatakan berilmu
orang yang menyuruh kepada kemunkaran dan mencegah terhadap perbuatan baik,
atau mendorong orang lain untuk musyrik kepada Allah SWT dan memperdaya mereka
dari mengingat-Nya.[2]
# Pemahaman Kandungan Hadits.
-
Di dalam hadits di atas terdapat penjelasan tentang
keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan yang mengetahui kebenaran dan
menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut.
-
Ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui
kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran.
-
Perumpamaan hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi
tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu bagaikan orang bodoh yang
menetapkan hukum dengan kebodohannya. Tempatnya adalah di neraka.
-
Orang bodoh (tidak memenuhi persyaratan seorang hakim)
yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, maka dia terancam oleh api
neraka.
-
Keputusan hakim yang dapat diberlakukan adalah
keputusan hakim kelompok pertama, yakni hakim yang mengetahui kebenaran dan
menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
B. Perlunya Kestabilan
Jiwa Hakim.
وعنْ أبي بكرة رضي الله عنهُ قالَ: سمعتُ
رسولَ اللّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يَقُولُ: "لا يحْكُمْ أَحَدٌ
بَيْنَ اثنَيْنِ وهُو غَضْبانُ" )مُتّفق عليه.(
Artinya
: diriwayatkan dari Abi Bakrah RA, dia berkata : aku telah mendengar “Rasulullah
SAW. Bersabda, “Janganlah kamu memutuskan hukuman di antara dua orang dalam
keadaan marah”. (Muttafaq alaih).
# Penjelasan Umum.
Keadilan merupakan faktor penopang
kemakmuran dan pembangkit ketenangan jiwa. Melalui keadilan, kebenaran dapat ditegakkan
dan kebatilan dapat dihancurkan. Hal ini karena di bawah lindungan keadilan
itulah, orang yang lemah merasa terlindungi dan terlepas dari pemerasan dan
kekuasaan tangan-tangan zalim. Di bawah lindungan keadilan, orang lemah dapat
menjadi kuat dalam menghadapi kebatilan yang dilancarkan orang-orang kuat yang
zalim dan di bawah sinar keadilan itu pula jalan kehidupan dapat menjanjikan
kebahagiaan. Sebaliknya, di bawah kekuatan sinar keadilan ini pula, gema
penyimpangan dan penyelewengan menjadi sirna.[3]
Kenyataan ini dapat terealisasikan kalau
pelaku keadilan itu berada dalam kondisi sadar terhadap berbagai pengaduan dan
pengakuan yang dihadapkan kepadanya sehingga dia dapat bersikap penuh objektif
yang akurat, analisis yang cermat, terbebas dari unsur-unsur penyimpangan yang
dapat memutarbalikkan keadaan, tidak tergoyahkan oleh hawa nafsu, tidak
tertawan oleh perasaan cintanya, terbebas dari kecenderungan dan kepentingan
tertentu yang dapat merusak keadilan dan menimbulkan ketidaktentraman dan gejolak
ketidakpuasan di antara sesama manusia.
Oleh karena itu pelaku penegak keadilan
(seperti hakim) harus memelihara diri dari kondisi tertentu dan sikap tertentu
yang dapat mendorong dirinya untuk berbuat tidak adil dalam memutus suatu
pengaduan dan pengakuan yang disampaikan oleh para pencari keadilan. Umpamanya,
seorang pelaku penegak keadilan tidak diperkenankan dan memaksakan dirinya
untuk memutus sebuah pengaduan dalam kondisi emosi yang tidak stabil, dalam
kondisi marah sebagaimana tercantum dalam hadits di atas atau kondisi-kondisi
ketidakstabilan lainnya.[4]
# Pemahaman Kandungan Hadits.
-
Hadits di atas menyatakan larangan terhadap seorang
hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah.
-
Alasan terhadap larangan tersebut karena kondisi seperti
itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta
mengeluarkannya dari kestabilan kondisi sehingga tidak dapat berpikir dan
berijtihad.
-
Para ulama juga memasukkan kondisi-kondisi lainnya
yang mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta
mengeluarkannya dari kestabilan kondisi, seperti lapar atau kenyang dan
perasaan senang dan sedih yang berlebihan.
-
Di dalam hadits tersebut tersirat perintah untuk
saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki
kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.
-
Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan
dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka
keputusannya dapat diterima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan
keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan
kehati-hatian.
C. Ijtihad
Hakim.
وعن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يقول:
إذا حَكَمَ الحَاكِمُ فاجْتَهَدَ ثمَّ أصَابَ فلَهُ أَجران، وإذا حَكَمَ فاجتهدَ ثمَّ
أخطأَ فلهُ أجر" متَّفق عليه
Artinya : diriwayatkan dari Amar bin Al-Ash RA,
sesungguhnya dia mendengar “Rasulullah SAW, bersabda : “Apabila seorang hakim
memutuskan suatu perkara dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, dia
akan mendapat dua pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan sesuatu perkara dengan
berijtihad tetapi ijtihadnya itu tidak benar, dia akan memperoleh satu pahala”.
(Muttafaq alaih).
# Penjelasan Umum.
Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum
Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Meskipun keberadaan ijtihad
merupakan hasil usaha keras seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam
menentukan pendapatnya mengenai masalah-masalah pelik dan meragukan dalam
lapangan hukum, ijtihad memegang peranan penting dalam agama Islam.[5]
# Pemahaman Kandungan Hadits.
-
Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami bahwa di
dalam kebenaran dan ketepatan penetapan hukum terdapat dua balasan pahala dan
di dalam proses pencarian kebenaran,meskipun salah, terdapat satu balasan
pahala.
-
Orang yang menjadi objek sasaran dari hadits ini
adalah mereka yang ahli dalam masalah hukum, seperti seorang hakim yang
memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang hakim, di antaranya
adalah pengetahuan dan penguasaan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
berbagai ilmunya, penguasaan terhadap bahasa yang tertulis dalam bentuk-bentuk
referensi sumber hukum Islam, pengetahuan terhadap pendapat-pendapat yang
dimiliki oleh para ulama, baik pendapat yang disepakati maupun pendapat yang
diperselisihkan, dan persyaratan-persyaratan lainnya.
Adapun bagi orang yang tidak ahli dalam
masalah hukum, ketetapan ini (ketetapan dua atau satu pahala) tidak dapat
berlaku. Orang yang tidak ahli dalam masalah hukum, kemudian dia menetapkan
hukum, maka orang tersebut tidak akan memperoleh pahala, bahkan sebaliknya dia
berdosa. Ketetapannya tidak dapat diberlakukan meskipun keputusannya itu sesuai
dengan kebenaran.
-
Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang mujtahid
yang melakukan ijtihad secara benar dan seseorang (yang bukan mujtahid) yang
melakukan ijtihad dengan benar. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kedua
kelompok tersebut tidak ada bedanya, sebab keduanya sama-sama telah menetapkan
hukum yang sesuai dengan ketetapan hukum Allah SWT. Sebagian lagi menyatakan
bahwa orang yang tidak ahli dalam masalah hukum, kemudian dia menetapkan hukum,
maka orang tersebut di anggap salah, tetapi dia tidak berdosa karena ada
alasan-alasan tertentu. Menurut Imam Asy-Syafi’i, pendapat inilah yang paling
benar. Namun demikian, kedua kelompok tersebut sama-sama mendasari pendapatnya
dengan hadits di atas. Menurut pendapat yang pertama, perolehan pahala bagi seseorang
yang di anggap salah (tidak tepat) untuk menetapkan hukum itu tiada lain adalah
karena ketetapan atau kesesuaiannya dengan kebenaran Allah SWT. Adapun menurut
pendapat yang kedua, orang tersebut dapat memperoleh pahala karena usahanya
yang susah payah dalam berijtihad, bukan karena kebenaran atau ketetapannya
dalam berijtihad.
-
Sebagian orang berpendapat bahwa perbedaan tersebut
terjadi dalam menetapkan masalah-masalah furu’, sedangkan dalam masalah
dasar-dasar ketauhidan, keduanya dapat diperlakukan sama.
SIMPULAN
Peradilan merupakan suatu lembaga yang
menghasilkan suatu keputusan produk pemerintah atau menetapkan hukum syar’i
dengan jalan penetapan. Berfungsi untuk mendamaikan dua belah pihak yang
bersengketa dan menetapkan sanksi atas setiap pelanggaran yang melanggar hukum.
Dalam peradilan diperlukan seorang hakim
yang sesuai dengan persyaratan yang telah ada dan sesuai dengan kriteria hakim
yang telah di sabdakan oleh junjungan kita baginda Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Ismail Al-San’ani, Subulus salam.
Taufik Rahman, Hadis-hadis hukum, Cet 1,
(Bandung: PUSTAKA SETIA, 2000).
http://rosanakmakassar.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html , di akses pada tanggal 29 Mei 2013.
http://www.mubarokonline.com/tiga-jenis-hakim-hanya-satu-yang-masuk-surga.html , di akses pada tanggal 29 Mei 2013.
http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/peradilan-dalam-islam.html , di akses pada tanggal 22 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar