-
Nama : Muhammad Alpian
Noor
-
Nim : 1101120067
-
Fak / Jur : Syariah /
Pebandingan Madzhab Dan Hukum (PMH)
(Tugas Resume Mata
Kuliah Ushul FiQih B)
# Hukum Syara’
A.
Pengertian Hukum
Syara’
Pengertian hukum menurut bahasa,
yaitu :
اثْبَاتُ شَيْئِ على شَيْئٍ او نَفْيِهِ عَنْهُ
Menetapkan sesuatu atas
sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.
Menurut istilah Ushûl fiqh,
hukum adalah :
خِطَابُ الشَّارِعِ المُتَعَلِّقُ بِافْعَالِ المُكَلَّفِيْنَ
طَلَبًا او تَخْيِيْرًا اوْ وَضْعًا.
Khitab (firman) Allah atau
(sabda) Nabi sebagai pencipta syari'at yang berkaitan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihanayang yang
menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.
Menurut pengertian di atas, bahwa
setiap khitab syari' yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf,
bukan yang berkaitan dengan keyakinan atau akhlak, yang menuntut agar suatu
perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara
dikerjakan atau ditinggalkan atau yang menjadikan sesuatu itu menjadi sebab,
syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain disebut hukum syar'i.
Misalnya firman Allah :
واقِمِ الصَّلَوةَ اِنَّ الصلوةَ تَنْهى عَنِ الفَحْشَاءِ والمُنْكَر
...dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan munkar... (al-Ankabut : 45)
Adalah khitab Syar'i yang
menuntut agar shalat itu dikerjakan, dan masih banyak lagi misal-misal khitab
syar’I yang terdapat dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadits-hadits
Rasulullah SAW.
Bunyi nas-nas tersebut, baik yang
mengandung tuntutan, pilihan, maupun sebab, syarat atau penghalang adanya
sesuatu, menurut Ushûliyyin adalah hukum syar'i. Dalil-dalil syara'
yang lain seperti ijma' dan qiyas, meskipun pada hakikatnya tidak berupa nas,
namun jika diteliti lebih lanjut ia adalah hukum syar'i juga. Karena ia
berpangkal juga kepada nas, hanya saja tidak secara langsung.
Adapun pengertian hukum menurut fukaha
bahwa yang dikatakan hukum syar'i itu adalah efek yang timbul dari
perbuatan yang diterapi khitab Syari'. Seperti hukum wajib, haram,
sunnat, makruh dan ibahah. Untuk memudahkan pemahaman tentang hukum menurut Ushûliyyin
dan fukaha adalah seperti : Khitab Allah أقم الصلوة (dirikanlah shalat) dalam surah al-Ankabut ayat 45
adalah mengandung akibat kewajiban bersembahyang. Khitab yang menerangkan
kewajiban shalat itu, menurut Ushûliyyin adalah hukum. Sedangkan menurut fukaha kewajiban shalat itulah yang
disebut hukum.
B.
Pembagian Hukum
Syara’
Apabila memperhatikan pengertian
tentang hukum syara' menurut Ushûliyyin
sebagaimana dikemukakan terdahulu, nyatalah bahwa bagian-bagian yang terdapat dalam pengertian hukum itu
membedakan hukum itu kepada hukum taklifi dan hukum wadh'i.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi
yaitu khitab Syar'i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh
mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara
dikerjakan dan ditinggalkan. Khitab yang mengndung tuntutan untuk dikerjakan misalnya perintah mendirikan
shalat (أقيم الصلوة),
khitab yang mengandung tuntutan untuk ditinggalkan misalnya keharaman
memakan bangkai الميتة) (حرمت عليكم , dan khitab
yang mengandung pilihan untuk dikerjakan atau ditinggalkan, misalnya suruhan setelah mendirikan shalat jum'at bertebaran di muka
bumi فاذاقضيتم الضلوة فانتشروا فى الارض)).
Khitab-khitab itu dinamai
hukum taklifi, karena mengandung pembebanan kepada para mukallaf untuk
dikerjakan, ditinggalkan atau menjadi pilihan antara dikerjakan dengan
ditingalkan.
Para Ushûliyyin mengatakan
bahwa khitab yang masuk dalam hukum taklifi, yaitu :
a. Ijab (الايجاب)
Yang dimaksud dengan ijab, yaitu
:
مَا طَلَب الشَّارِعِ فِعْلُهُ مِنَ
المُكَلَّفِ طلبًا حَتْمًا
khitab Syari' yang menuntut
agar dilakukan suatu perbuatan dari orang mukallaf dengan tuntutan yang pasti.
b. Nadb (الندب )
Yang dimaksud dengan nadb,
yaitu :
مَا طَلَب الشَّارِعِ فِعْلُهُ مِنَ المُكَلَّفِ طلبًا غَيْرُ حَتْمٍ.
khitab Syari' yang menuntut agar dilakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan, hanya
merupakan anjuran untuk dikerjakannya.
c. Tahrim (التحريم )
Yang dimaksud tahrim,
yaitu :
ما طَلَب الشَّارِعِ
اْلكَفُّ عن فِعْلِهِ طلبًا حَتْمًا.
khitab Syari' yang menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang jelas dan pasti.
d. Karahah (الكراهة )
Yang dimaksud karahah
yaitu :
مَا طَلَب الشَّارِعِ مِنَ المُكَلَّفِ الْكَف عَنْ فعلِهِ
طلبًا غَيْرُ حَتْمِ.
khitab Syari' yang menuntut untuk meninggalkan
suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan.
e. Ibahah (الاباحة )
Yang dimaksud ibahah, yaitu
:
مَا خُيِّرَ الشَّارِعِ المُكلّف بَيْنَ فِعْلِهِ وَ تَرْكِهِ.
khitab Syari' yang mengandung
hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkan.
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh'y yaitu khitab
Syari' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah
sebagai sebab, syarat atau penghalang
sesuatu. Misalnya
adanya sesuatu sebagai sebab :
ياأيُّهَا الذِيْنَ أمَنُوْا إذَا قُمْتُمْ إلَى الصَّلوةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ الى المَرَافِقِ...
Hai orang-orang yang beriman.
Apabila kamu hendak shalat, maka cucilah mukamu dan tangan-tanganmu sampai siku
... (al-Maidah : 6)
Kemauan mendirikan shalat dalam khitab
di atas adalah menjadi sebab kewajiban berwudhu.
Para Ushûliyin
membagi hukum wadh'y, bukan saja kepada sebab, syarat dan penghalang (mani'),
tetapi masuk daripadanya adalah rukhshah dan shihhah. Atas dasar
itulah Ushûliyin dalam pembagian hukum wdh'y membaginya kepada
lima, yaitu; sebab, syarat, mani', azimah (hukum pokok) dan rukhsah.
a. Sebab
Sebab yaitu
sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab (hukum). Maksudnya
dengan adanya sebab terjadilah hukum, dan dengan tiadanya sebab, tiada
terwujudlah suatu hukum. Sebab-sebab hukum itu dibagi dua macam :
-
Sebab untuk mewujudkan hukum taklifi.
-
Sebab untuk menetapkan atau menghilangkan hak
milik.
b. Syarat
Syarat yaitu
sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak adanya syarat, maka tidak ada masyrut.
atau Syarat itu sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum tergantung ada dan
tidak adanya sesuatu itu. Maksudnya, bahwa syarat itu tidak masuk hakikat
masyrut. Dengan arti, bahwa tidaklah mesti dengan adanya syarat itu ada masyrut.
Misalnya, Berwudhu adalah syarat
sahnya shalat, dengan arti bahwa apabila tidak berwudhu maka tidak sah
shalatnya, tetapi tidaklah mesti dengan adanya wudhu maka terwujudlah shalat.
c. Penghalang (al-Mani’)
Penghalang
ialah sesuatu yang karena adanya sesuatu
tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Misalnya perbedaan agama
menjadi penghalang hukum
pusaka-mempusakai antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi.
d. Hukum asli ('Azimah) dan Kumurahan (Rukhshah)
'Azimah ialah peraturan syara' yang asli
yang berlaku kepada seluruh mukallaf dalam keadaan hal bisa. Sedangkan rukhshah
ialah ketentuan yang disyari'atkan oleh Syari' sebagai peringanan terhadap
orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Misalnya, bangkai menurut hukum
aslinya adalah haram dimakan oleh mukallaf, akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan
terpaksa, ia boleh memakannya, asalkan tidak berlebih-lebihan untuk memakannya.
Haramnya memakan bangkai adalah hukum 'azimah, sedangkan halalnya memakannya
bagi orang yang terpaksa adalah hukum rukhshah.
e.
Shihhah (sah)
dan Buthlan (batal)
Shihhah ialah suatu
perbuatan apabila terdapat persesuaian dengan yang disyariatkan (dituntut)
Yakni terealisir rukun-rukunnya dan telah terpenuhi syarat-syarat
pelaksanaannya. Buthlan ialah perbuatan apabila tidak terdapat
persesuaian dengan yang disyari'atkan (dituntut), karena terdapat cacat pada
salah satu rukun atau syarat
pelaksanaannya.
# Al-Hakim (Pencipta Hukum)
Al-Hakim
menurut para Ushûliyyin, yaitu :
الحَاكِمُ هُوَ مَنْ صَدَرَ عَنْهُ الحُكْم.
al-Hakim yaitu orang yang
menjatuhkan putusan. (Khallaf,
1968; 96).
Tidak ada perselisihan dikalangan
ulama bahwa yang memberikan khitab itu adalah Allah SWT. Baik Allah SWT sendiri
yang menciptakan khitab itu dengan mewahyukan
kepada para rasul atau memberikan petunjuk kepada para mujtahid hukum-hukum
yang harus dikerjakan oleh orang mukallaf. Yang menjadi alasan jumhur ulama
dalam menetapkan bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT, ialah firman Allah SWT. :
إن اْلحُكْمُ إلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الحَقَّ وَهو خَيْرُ الفَاصِلِيْنَ.
...Menetapkan
hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik. (Q.S. al-An'am : 57).
Adapun yang menjadi perselisihan
dikalangan ulama adalah apakah akal itu dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf dengan tidak melalui rasul-rasul
Allah dan kitab-kitab-Nya?. Artinya apakah orang mukallaf yang yang tidak
mendapat dakwah Rasul itu dengan akalnya semata dapat mengetahui hukum-hukum
Allah?.
Para ulama terbagi kepada tiga kelompok :
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya, akal itu dapat untuk
mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, akan tetapi perbuatan itu
sendiri tidak akan diberi pahala atau siksa bagi orang yang mengerjakannya atau
meninggalkannya, selama belum ada ketetapan dari syari'at. Ini berarti bahwa
hanya dengan akal belum dapat mengetahui hukum-hukum Allah.
2. Mazhab Asy'ariyah, berpendapat bahwa akal itu tidak dapat mengetahui
hukum-hukum Allah, selain dengan perantaraan rasul-rasul Allah dan kitab-Nya.
Karena akal dalam menilai perbuatan orang mukallaf berbeda-beda satu sama lain.
Sebagian menilainya baik dan sebagian yang lain menilainya buruk. Apa yang
dinilai baik oleh Akal dan diperbuatnya belum tentu baik menurut Allah.
Pendirian yang asasi dari
kelompok ini menetapkan orang mukallaf itu dikatakan baik apabila Syari'
menetapkan baik, atau membolehkan atau memerintahkan dan atau melarangnya. Yang
menjadi ukuran untuk menetapkan baik dan buruknya perbuatan itu adalah syara',
bukan akal manusia.
Seseorang tidak mendapat taklif
dari Allah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, kecuali
apabila telah mendapat dakwah dari Rasulullah atau mendapat ketetapan dari
syara'. Ia tidak berhak pahala dan tidak pula disiksa. Pendapat ini beralasan
dengan firman Allah SWT.:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً.
Dan Kami tidak akan mengadzab
sebelum Kami mengutus seorang Rasul...(Q.S. al-Isra : 15).
3. Mazhab Mu'tazilah berpendapat bahwa akal itu dapat mengetahui baik dan
buruknya berdasarkan salah satu dari tiga penetapan :
a). Ditetapkan oleh akal
berdasarkan dharuri, yaitu dengan tidak usah pengadakan analisa secara mendalam, akal dapat menerimanya,
seperti berderma kepada orang yang sangat menghajatkan, atau perbuatan baik
lainnya. Atau berbuat buruk seperti mencuri atau perbuatan buruk lainnya.
b). Ditetapkan oleh akal secara nazhari,
yaitu yang masih memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, seperti
berbohong yang dapat menarik manfaat adalah baik, atau jujur yang dapat menarik
mudharat adalah tidak baik. Berkata bohong bagi orang yang melarai percekcokan,
dengan bohongnya itu orang yang cekcok menjadi damai adalah baik. Tetapi
seorang tentara yang tertawan berkata jujur kepada musuh dalam peperangan,
sehingga musuh dapat mengetahui kekuatan lawan, baik dari jumlah persenil
maupun persenjataan adalah tidak baik.
c). Ditetapkan secara sama'i,
yaitu yang ditetapkan oleh syara', misalnya kebaikan mendirikan shalat, puasa,
zakat dan lain-lainnya.
# Mahkum Fih (Pembuatan Hukum)
Mahkum Fih yaitu perbuatan-perbuatan orang mukallaf
yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Sepakat para ulama bahwa tidak ada
pembebanan selain pada perbuatan. Maksudnya beban itu erat kaitannya dengan
perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila Syari' mewajibkan
suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu tidak lain adalah mesti
dikerjakan. Demikian pula, suatu perbuatan yang diharamkan, maka mesti
ditinggalkan. Dengan demikian seluruh perintah atau larangan itu adalah sangat
berkaitan denagan perbuatan orang
mukallaf.
Perbuatan
yang dibebankan kepada orang mukallaf itu memiliki syarat-syarat :
1. Perbuatan itu diketahui oleh
orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan
tuntutan.
2. Mengetahui bahwa pembebanan
itu berasal dari Syari' yang wajib diikuti atas segala hukum-hukum yang
dibuatnya.
3. Perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dikerjakan atau boleh
ditinggalkan oleh orang mukallaf.
# Mahkum ‘Alaihi (Orang yang dibebani Hukum)
Mahkum ’Alaihi yaitu orang mukallaf yang dibebani
hukum. Yakni perbuatan mukallaf itulah yang dibebani berhubungan dengan hukum. Mengenai sahnya memberi beban kepada
mukallaf dalam syara', disyaratkan :
1. Sanggup memahami
khitab pembebanan, yaitu orang mukallaf itu dapat memahami dalil taklif. Orang
mukallaf itu sanggup memahami dalil-dalil nas (al-Qur'ân dan Sunnah), dengan
langsung atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak dapat memahami dalil nash
itu, mereka tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu,
orang yang dianggap tidak sanggup memahami dalil nash tidaklah dibebankan
kepadanya. Misalnya orang
gila dan anak-anak yang belum mengerti perintah dan tidak dapat memahami apa
yang diperintahkan. Begitupula orang tidur dan mabuk. Tetapi dalam hal seperti pembebanan kewajiban zakat atau ganti rugi atas tindakan anak-anak dan atau
orang gila sebenarnya bukan merupakan pemberian beban kepada mereka, melainkan kepada walinya. Karena wali yang
menunaikan hak dan kewajiban kebendaan anak-anak atau orang gila
tersebut.
2. Mempunyai kemampuan
menerima beban. Para Ushûliyin membagi kemampuan itu kepada dua
macam yaitu :
a.
Ahliyatu al Wujub (Kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu
kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban.
b.
Ahliyatu al-Ada' (kemampuan berbuat). Yaitu kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala
perbuatan dan perkataannya.
# Tujuan Hukum Syara’
(Maqashid al-Syari'ah)
1. Pengertian Maqashid
al-Syari'ah
Secara bahasa, maqashid
al-syari'ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari'ah.
Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang artinya tujuan atau
kesengajaan. Syari'ah secara bahasa berarati jalan menuju sumber air. Adapun pengertian syari'ah, Abu Bakr al-A'jiri, beliau mendefinisikan
syari'at sebagai “segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah yang mencakup
akidah wal-ahkam –hukum-” dengan dalil bahwa kalimat الشرعة adalah الشريعة sebagaimana firman
Allah:
لِِكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا) وقال ايضا: (ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها)
Dan kalimatالمنهج berarti الطريق sebagaimana firman Allah :
لِِكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا) وقال ايضا: (ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها)
Dan kalimatالمنهج berarti الطريق sebagaimana firman Allah :
قال الله
تعالى (وان لو استقاموا على الطريق الأسقيناهم
ماءا غدقا
Ibnu Taimiyah mengkritik ulama-ulama yang mengatakan bahwa syariah hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan problem-problem akidah. Beliau mengatakan "pada realitasnya syar'iat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan ahkirat, dan syari'at adalah apa-apa yang tercantum dalam al-Kitab dan Sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh salaf yang berkaitan dengan akidah, al-Ushûl, al-ibadat, politik, peradilan, pemerintahan.
Ibnu Taimiyah mengkritik ulama-ulama yang mengatakan bahwa syariah hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan problem-problem akidah. Beliau mengatakan "pada realitasnya syar'iat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan ahkirat, dan syari'at adalah apa-apa yang tercantum dalam al-Kitab dan Sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh salaf yang berkaitan dengan akidah, al-Ushûl, al-ibadat, politik, peradilan, pemerintahan.
Dari segi bahasa maqosid syariah
berarti maksud dan tujuan disyariatkan hukum Islam, karena itu menjadi bahasan
utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan illat ditetapkannya suatu
hukum.
Adapun
menurut istilah, Wahbah al Zuhaili merumuskan yaitu, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar
dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai
tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari'
dalam setiap ketentuan hukum.
Menurut Syathibi tujuan akhir hukum adalah mashlahah atau kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia dunia dan akhirat. Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia
memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan
dengan dalil-dalil dalam Al-Qur'ân secara pasti. Sebagaimana firman-Nya
dalam surah ad-Dukhan ayat 38-39:
وَمَا خلقْنَا
السَّمَوَاتِ وَ الارْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا لعِبِيْنَ. وَمَا خَلَقْنَهُمَا اِلاَّ
بِالْحَقِّ وَِلكِنْ اكْثَرَهُمْ لا يعلمون.
Dan kami tidakmenciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya denganbermain-main.Kami tidak menciptakan keduanya
melainkan dengan haq,tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.(Qs.
44:38-39)
Semua hukum, baik yang berbentuk
perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat
bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan
tujuan, dimana Allah menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud
dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilakan dengan Maqashid
al-syariah (ObjektivitasSyariah). Tujuan hukum syara' sudah menjadi perhatian
para ulama sejak masa Rasulullah Muhammad saw. Misalnya suatu waktu Nabi
Muhammad saw melarang kaum muslimin menyimpan daging
kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan
tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad
itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi
Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa
larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al
Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari
perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang
simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang
membutuhkannya". Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan
menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni
melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah.
Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun
dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari
ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al
Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya
demikian terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar
Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat
dalam Ushûl fiqh, yang dikembangkan oleh para Ushûli dalam
penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah.
Kajian demikian terlihat dalam
beberapa karya Ushûl fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii,
Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al Hasan
Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas dan
sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi Maqasid al-Syariah berarti
tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum
Islam agar hamba-hamba-Nya memperoleh kemaslahatan dunia dan akhirat. Adapun menurut istilah syariah, dijelaskan oleh Syatibi dengan
perkataannya. "saya maksud dengan
maslahah yaitu sesuatu yang kembali pada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara
mutlak Jadi, tujuan syariat (maqosid syariah) mencakup kemaslahatan dunia dan
akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya
merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di akhirat. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur'ân surah al-Isra ayat 18 :
مَنْ كانَ
يُرِيْدُ العَاجِلَةَ عَجَّلْنَالَهُ فيها مَا نَشَاءُ لِمَنْ تُرِيْدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَه جَهَنَّمَ يَصْلَهَا مَذْمُوْمًا
مَدْحُوْرًا.
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki
bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia
akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Qs. 17:18)
Kemudian dilanjutkan dengan surah al-Isra ayat 19 :
وَمَنْ أرَادَ الاخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأولئِكَ
كان سَعْيُهُمْ مَشْكُوْرًا.
Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh
sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya
dibalasi dengan baik. (Qs.17:19).
Ayat ini menunjukkan bahwa untuk
memperoleh akhirat harus diperolehnya di dunia dengan tuntutan tasyri'. Oleh
karenanya orang yang beramal pantas mendapat balasan dari Allah baik di dunia
maupun di akhirat.
Tujuan Syariah sebagaimana
disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia
dan di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang
pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, al-Qur'ân dan
hadits. Dalam mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan
penelitian Ushûliyyin, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan,
yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh
kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut,
sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat manakala ia tidak dapat memelihara
kelima unsur itu dengan baik (mashlahah al-dharuriyyah).
Adapun yang dijadikan tolak ukur
untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang
dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang
menjadi kebutuhan mendasar manusia. Adapun
setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan
kebutuhan yaitu al-dlarruriyyat, al- hajiyyat
dan al- tahsiniyyat.
2. Tingkatan Maslahat
Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan,
peringkat itu adalah dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekumder)
dan tahsiniyyat (tersier).
- Kebutuhan dhoruriyat Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishas:
وَلَكُمْ
فِى القِصَاصِ حَيَاة يَأولِى الألْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai
orang-orang yang bertakwa"
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qishas karena
dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.Kebutuhan.
b. Kebutuhan al-hajiyat Al Syatibi mendefinisikan sebagai
kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan
ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan
mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut.
Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab
Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda)
bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong
tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya
dari kelaparan.
c. Kebutuhan al
tahsiniyyat Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi
salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan
apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap,
seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut
adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan
keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang
kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan
tahsiniyyat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran
memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
Mengetahui urutan peringkat
maslahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala
prioritas penerapannya, ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan
kemaslahatan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, daruriyyat,
harus didahulukan daripada peringkat kedua, hajiyyat, dan peringkat
ketiga, tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan
mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, manakala
kemashlahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya. Misalnya
seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk memelihara
eksistensi jiwanya. Makanan yang dimaksud harus makanan halal. Manakala pada
suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, padahal ia akan mati kalau
tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan ynag
diharamkan, demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk
menjaga jiwa dalam peringkat daruriyyat; sedangkan makanan yang halal termasuk
memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat. Jadi harus didahulukan
memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat daripada peringkat hajiyyat.
Begitu pula halnya manakala
peringkat tahsiniyyat berbenturan dengan peringkat hajiyyat, maka
peringkat hajjiyyat harus didahulukan daripada peringkat tahsiniyyat.
Misalnya melaksanakan shalat berjamaah termasuk peringkat hajiyyat,
sedangkan persyaratan adanya imam yang shalih, tidak fasik, termasuk peringkat
tahsiniyyat. Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang
memenuhi persyaratan tesebut, maka dibenarkan berimam pada Imam yang fasik,
demi menjaga shalat berjamaah yang bersifat hajiyyat. Dalam persoalan
mendirikan shalat, mendirikan shalat adalah dharuriyyat, adapun menghadap
kiblat sifatnya hajjiyyat, sedangkan berpakaian menutup tubuh selain aurat
sifatnya tahsiniyyat. Oleh karena itu
seorang muslim ia wajib mendirikan shalat, pada saat ia tidak mengetahui arah
kiblat, ia shalat kea rah mana saja yang ia yakini arah kiblat, jika ia tidak
terarah kepada kiblat, maka tidaklah merusak shalatnya, begitu pula jika ia
berpakaian hanya sebatas tertutup aurat, maka ia tidak merusak shalatnya,
tetapi shalatnya kurang sempurna. (al-Syatibi, II, 1975; 11 bandingkan
Hasballah, 1976; 297)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar