Rabu, 25 Mei 2016

Resume Ushul Fiqih



-          Nama : Muhammad Alpian Noor
-          Nim : 1101120067
-          Fak / Jur : Syariah / Pebandingan Madzhab Dan Hukum (PMH)
(Tugas Resume Mata Kuliah Ushul FiQih B)
# Hukum Syara’
A.      Pengertian Hukum Syara’
Pengertian hukum menurut bahasa, yaitu :
اثْبَاتُ شَيْئِ على شَيْئٍ او نَفْيِهِ عَنْهُ
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.
           Menurut istilah Ushûl fiqh, hukum adalah :
خِطَابُ الشَّارِعِ المُتَعَلِّقُ بِافْعَالِ المُكَلَّفِيْنَ طَلَبًا او تَخْيِيْرًا اوْ وَضْعًا.
Khitab (firman) Allah atau (sabda) Nabi sebagai pencipta syari'at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihanayang yang menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.
           Menurut pengertian di atas, bahwa setiap khitab syari' yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, bukan yang berkaitan dengan keyakinan atau akhlak, yang menuntut agar suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan atau yang menjadikan sesuatu itu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain disebut hukum syar'i. Misalnya firman Allah :
واقِمِ الصَّلَوةَ اِنَّ الصلوةَ تَنْهى عَنِ الفَحْشَاءِ والمُنْكَر
...dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar... (al-Ankabut : 45)
Adalah khitab Syar'i yang menuntut agar shalat itu dikerjakan, dan masih banyak lagi misal-misal khitab syar’I yang terdapat dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah SAW.
          Bunyi nas-nas tersebut, baik yang mengandung tuntutan, pilihan, maupun sebab, syarat atau penghalang adanya sesuatu, menurut Ushûliyyin adalah hukum syar'i. Dalil-dalil syara' yang lain seperti ijma' dan qiyas, meskipun pada hakikatnya tidak berupa nas, namun jika diteliti lebih lanjut ia adalah hukum syar'i juga. Karena ia berpangkal juga kepada nas, hanya saja tidak secara langsung.
           Adapun pengertian hukum menurut fukaha bahwa yang dikatakan hukum syar'i itu adalah efek yang timbul dari perbuatan yang diterapi khitab Syari'. Seperti hukum wajib, haram, sunnat, makruh dan ibahah. Untuk memudahkan pemahaman tentang hukum menurut Ushûliyyin dan fukaha adalah seperti : Khitab Allah أقم الصلوة  (dirikanlah shalat) dalam surah al-Ankabut ayat 45 adalah mengandung akibat kewajiban bersembahyang. Khitab yang menerangkan kewajiban shalat itu, menurut Ushûliyyin adalah hukum. Sedangkan  menurut fukaha kewajiban shalat itulah yang disebut hukum.

B.      Pembagian Hukum Syara’
 Apabila memperhatikan pengertian tentang hukum syara'  menurut Ushûliyyin sebagaimana dikemukakan terdahulu, nyatalah bahwa bagian-bagian  yang terdapat dalam pengertian hukum itu membedakan hukum itu kepada hukum taklifi dan hukum wadh'i.
1.       Hukum Taklifi
Hukum taklifi yaitu khitab Syar'i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkan. Khitab yang mengndung tuntutan untuk dikerjakan misalnya perintah mendirikan shalat  (أقيم الصلوة), khitab yang mengandung tuntutan untuk ditinggalkan misalnya keharaman memakan bangkai الميتة)  (حرمت عليكم , dan khitab yang mengandung pilihan untuk dikerjakan atau ditinggalkan, misalnya suruhan setelah  mendirikan shalat jum'at bertebaran di muka bumi  فاذاقضيتم الضلوة فانتشروا فى الارض)).              
          Khitab-khitab itu dinamai hukum taklifi, karena mengandung pembebanan kepada para mukallaf untuk dikerjakan, ditinggalkan atau menjadi pilihan antara dikerjakan dengan ditingalkan.
          Para Ushûliyyin mengatakan bahwa khitab yang masuk dalam hukum taklifi, yaitu :
a. Ijab (الايجاب)
         Yang dimaksud dengan ijab, yaitu :
مَا طَلَب الشَّارِعِ  فِعْلُهُ مِنَ المُكَلَّفِ طلبًا حَتْمًا
khitab Syari' yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dari orang mukallaf dengan tuntutan yang pasti.
b. Nadb (الندب )
           Yang dimaksud dengan nadb, yaitu :
مَا طَلَب الشَّارِعِ فِعْلُهُ مِنَ المُكَلَّفِ طلبًا غَيْرُ حَتْمٍ.
 khitab Syari' yang menuntut agar dilakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan, hanya merupakan anjuran untuk dikerjakannya.
c. Tahrim (التحريم )
          Yang dimaksud tahrim, yaitu :
ما طَلَب الشَّارِعِ اْلكَفُّ عن فِعْلِهِ طلبًا حَتْمًا.
khitab Syari' yang menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang jelas dan pasti.
d. Karahah (الكراهة )
Yang dimaksud karahah yaitu :
مَا طَلَب الشَّارِعِ مِنَ المُكَلَّفِ الْكَف عَنْ فعلِهِ طلبًا غَيْرُ حَتْمِ.
 khitab Syari' yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan.
e. Ibahah (الاباحة )
          Yang dimaksud ibahah, yaitu :
مَا خُيِّرَ الشَّارِعِ المُكلّف بَيْنَ فِعْلِهِ وَ تَرْكِهِ.
khitab Syari' yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkan.   
2.       Hukum Wadh’i
Hukum wadh'y yaitu khitab Syari' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang  sesuatu. Misalnya adanya sesuatu sebagai sebab :
ياأيُّهَا الذِيْنَ أمَنُوْا إذَا قُمْتُمْ إلَى الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ الى المَرَافِقِ...
Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu hendak shalat, maka cucilah mukamu dan tangan-tanganmu sampai siku ... (al-Maidah : 6)
           Kemauan mendirikan shalat dalam khitab di atas adalah menjadi sebab kewajiban berwudhu.
Para Ushûliyin membagi hukum wadh'y, bukan saja kepada sebab, syarat dan penghalang (mani'), tetapi masuk daripadanya adalah rukhshah dan shihhah. Atas dasar itulah Ushûliyin dalam pembagian hukum wdh'y membaginya kepada lima, yaitu; sebab, syarat, mani', azimah (hukum pokok) dan rukhsah.
a.       Sebab
Sebab yaitu sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab (hukum). Maksudnya dengan adanya sebab terjadilah hukum, dan dengan tiadanya sebab, tiada terwujudlah suatu hukum. Sebab-sebab hukum itu dibagi dua macam :
-          Sebab untuk mewujudkan hukum taklifi.
-          Sebab untuk menetapkan atau menghilangkan hak milik.

b.      Syarat
Syarat yaitu sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak  adanya syarat, maka tidak ada masyrut. atau  Syarat itu sesuatu yang ada  atau tidak adanya hukum tergantung ada dan tidak adanya sesuatu itu. Maksudnya, bahwa syarat itu tidak masuk hakikat masyrut. Dengan arti, bahwa tidaklah mesti dengan adanya syarat itu ada masyrut. Misalnya, Berwudhu adalah syarat sahnya shalat, dengan arti bahwa apabila tidak berwudhu maka tidak sah shalatnya, tetapi tidaklah mesti dengan adanya wudhu maka terwujudlah shalat.

c.       Penghalang (al-Mani’)
Penghalang ialah sesuatu yang karena adanya sesuatu  tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Misalnya perbedaan agama menjadi penghalang hukum  pusaka-mempusakai antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi.

d.      Hukum asli ('Azimah) dan Kumurahan (Rukhshah) 
'Azimah ialah peraturan syara' yang asli yang berlaku kepada seluruh mukallaf dalam keadaan hal bisa. Sedangkan rukhshah ialah ketentuan yang disyari'atkan oleh Syari' sebagai peringanan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Misalnya, bangkai menurut hukum aslinya adalah haram dimakan oleh mukallaf, akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, ia boleh memakannya, asalkan tidak berlebih-lebihan untuk memakannya. Haramnya memakan bangkai adalah hukum 'azimah, sedangkan halalnya memakannya bagi orang yang terpaksa adalah hukum rukhshah.

e.      Shihhah (sah) dan Buthlan (batal)
Shihhah ialah suatu perbuatan apabila terdapat persesuaian dengan yang disyariatkan (dituntut) Yakni terealisir rukun-rukunnya dan telah terpenuhi syarat-syarat pelaksanaannya. Buthlan ialah perbuatan apabila tidak terdapat persesuaian dengan yang disyari'atkan (dituntut), karena terdapat cacat pada salah satu rukun atau syarat  pelaksanaannya.  

# Al-Hakim (Pencipta Hukum)
Al-Hakim menurut para Ushûliyyin, yaitu :
الحَاكِمُ هُوَ مَنْ صَدَرَ عَنْهُ الحُكْم.
al-Hakim yaitu orang yang menjatuhkan putusan. (Khallaf, 1968; 96).
          Tidak ada perselisihan dikalangan ulama bahwa yang memberikan khitab itu adalah Allah SWT. Baik Allah SWT sendiri yang menciptakan khitab itu dengan mewahyukan  kepada para rasul atau memberikan petunjuk kepada para mujtahid hukum-hukum yang harus dikerjakan oleh orang mukallaf. Yang menjadi alasan jumhur ulama dalam menetapkan bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT, ialah firman Allah SWT.  :
إن اْلحُكْمُ إلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الحَقَّ وَهو خَيْرُ الفَاصِلِيْنَ.
...Menetapkan hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (Q.S. al-An'am : 57).
         Adapun yang menjadi perselisihan dikalangan ulama adalah apakah akal itu dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf dengan tidak melalui rasul-rasul Allah dan kitab-kitab-Nya?. Artinya apakah orang mukallaf yang yang tidak mendapat dakwah Rasul itu dengan akalnya semata dapat mengetahui hukum-hukum Allah?.     
 Para ulama terbagi kepada tiga kelompok :
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya, akal itu dapat untuk mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, akan tetapi perbuatan itu sendiri tidak akan diberi pahala atau siksa bagi orang yang mengerjakannya atau meninggalkannya, selama belum ada ketetapan dari syari'at. Ini berarti bahwa hanya dengan akal belum dapat mengetahui hukum-hukum Allah.
2. Mazhab Asy'ariyah, berpendapat bahwa akal itu tidak dapat mengetahui hukum-hukum Allah, selain dengan perantaraan rasul-rasul Allah dan kitab-Nya. Karena akal dalam menilai perbuatan orang mukallaf berbeda-beda satu sama lain. Sebagian menilainya baik dan sebagian yang lain menilainya buruk. Apa yang dinilai baik oleh Akal dan diperbuatnya belum tentu baik menurut Allah.
      Pendirian yang asasi dari kelompok ini menetapkan orang mukallaf itu dikatakan baik apabila Syari' menetapkan baik, atau membolehkan atau memerintahkan dan atau melarangnya. Yang menjadi ukuran untuk menetapkan baik dan buruknya perbuatan itu adalah syara', bukan akal manusia.
      Seseorang tidak mendapat taklif dari Allah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, kecuali apabila telah mendapat dakwah dari Rasulullah atau mendapat ketetapan dari syara'. Ia tidak berhak pahala dan tidak pula disiksa. Pendapat ini beralasan dengan firman Allah SWT.:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً.
      Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul...(Q.S. al-Isra : 15).



3. Mazhab Mu'tazilah berpendapat bahwa akal itu dapat mengetahui baik dan buruknya berdasarkan salah satu dari tiga penetapan :
      a). Ditetapkan oleh akal berdasarkan dharuri, yaitu dengan tidak usah pengadakan analisa  secara mendalam, akal dapat menerimanya, seperti berderma kepada orang yang sangat menghajatkan, atau perbuatan baik lainnya. Atau berbuat buruk seperti mencuri atau perbuatan buruk lainnya.
     b). Ditetapkan oleh akal secara nazhari, yaitu yang masih memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, seperti berbohong yang dapat menarik manfaat adalah baik, atau jujur yang dapat menarik mudharat adalah tidak baik. Berkata bohong bagi orang yang melarai percekcokan, dengan bohongnya itu orang yang cekcok menjadi damai adalah baik. Tetapi seorang tentara yang tertawan berkata jujur kepada musuh dalam peperangan, sehingga musuh dapat mengetahui kekuatan lawan, baik dari jumlah persenil maupun persenjataan adalah tidak baik.
     c). Ditetapkan secara sama'i, yaitu yang ditetapkan oleh syara', misalnya kebaikan mendirikan shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya. 

# Mahkum Fih (Pembuatan Hukum)
Mahkum Fih yaitu perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Sepakat para ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada perbuatan. Maksudnya beban itu erat kaitannya dengan perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila Syari' mewajibkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu tidak lain adalah mesti dikerjakan. Demikian pula, suatu perbuatan yang diharamkan, maka mesti ditinggalkan. Dengan demikian seluruh perintah atau larangan itu adalah sangat berkaitan denagan  perbuatan orang mukallaf.
Perbuatan yang dibebankan kepada orang mukallaf itu memiliki syarat-syarat :
    1. Perbuatan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan.
    2. Mengetahui bahwa pembebanan itu berasal dari Syari' yang wajib diikuti atas segala hukum-hukum yang dibuatnya.
3. Perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dikerjakan atau boleh ditinggalkan oleh orang mukallaf.

# Mahkum ‘Alaihi (Orang yang dibebani Hukum)
Mahkum ’Alaihi yaitu orang mukallaf yang dibebani hukum. Yakni perbuatan mukallaf itulah yang dibebani berhubungan dengan hukum. Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf dalam syara', disyaratkan :
1.       Sanggup memahami khitab pembebanan, yaitu orang mukallaf itu dapat memahami dalil taklif. Orang mukallaf itu sanggup memahami dalil-dalil nas (al-Qur'ân dan Sunnah), dengan langsung atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak dapat memahami dalil nash itu, mereka tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang dianggap tidak sanggup memahami dalil nash tidaklah dibebankan kepadanya. Misalnya orang gila dan anak-anak yang belum mengerti perintah dan tidak dapat memahami apa yang diperintahkan. Begitupula orang tidur dan mabuk. Tetapi dalam hal seperti pembebanan kewajiban zakat atau ganti rugi atas tindakan anak-anak dan atau orang gila sebenarnya bukan merupakan pemberian beban kepada mereka, melainkan kepada walinya. Karena wali yang menunaikan hak dan kewajiban kebendaan anak-anak atau orang gila tersebut.
2.       Mempunyai kemampuan menerima beban. Para Ushûliyin membagi kemampuan itu kepada dua macam yaitu :
a.       Ahliyatu al Wujub (Kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban.
b.      Ahliyatu al-Ada' (kemampuan berbuat). Yaitu kepantasan  seseorang untuk dipandang sah segala perbuatan dan perkataannya.

# Tujuan Hukum Syara’ (Maqashid al-Syari'ah)
1. Pengertian Maqashid al-Syari'ah                
            Secara bahasa, maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari'ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang artinya tujuan atau kesengajaan. Syari'ah secara bahasa berarati jalan menuju sumber air. Adapun pengertian syari'ah, Abu Bakr al-A'jiri, beliau mendefinisikan syari'at sebagai “segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah yang mencakup akidah wal-ahkam –hukum-” dengan dalil bahwa kalimat الشرعة adalah الشريعة sebagaimana firman Allah:
لِِكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا) وقال ايضا: (ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها)
  Dan kalimatالمنهج    berarti الطريق sebagaimana firman Allah :
قال الله  تعالى  (وان لو استقاموا على  الطريق  الأسقيناهم ماءا  غدقا
            Ibnu Taimiyah mengkritik ulama-ulama yang mengatakan bahwa syariah hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan problem-problem akidah. Beliau mengatakan "pada realitasnya syar'iat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan ahkirat, dan syari'at adalah apa-apa yang tercantum dalam al-Kitab dan  Sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh salaf yang berkaitan dengan akidah, al-Ushûl, al-ibadat, politik, peradilan, pemerintahan.
            Dari segi bahasa maqosid syariah berarti maksud dan tujuan disyariatkan hukum Islam, karena itu menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan illat ditetapkannya suatu hukum.       
            Adapun menurut istilah, Wahbah al Zuhaili merumuskan yaitu, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.
            Menurut Syathibi tujuan akhir hukum adalah  mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia dunia dan akhirat. Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan dengan dalil-dalil dalam Al-Qur'ân secara pasti. Sebagaimana firman-Nya dalam surah ad-Dukhan ayat 38-39:
وَمَا خلقْنَا السَّمَوَاتِ وَ الارْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا لعِبِيْنَ. وَمَا خَلَقْنَهُمَا اِلاَّ بِالْحَقِّ وَِلكِنْ اكْثَرَهُمْ لا يعلمون.
Dan kami tidakmenciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya denganbermain-main.Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq,tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.(Qs. 44:38-39)

           Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Allah menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilakan dengan Maqashid al-syariah (ObjektivitasSyariah). Tujuan hukum syara' sudah menjadi perhatian para ulama sejak masa Rasulullah Muhammad saw. Misalnya suatu waktu Nabi Muhammad saw melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya". Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.                                                                                                                                                                               
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam Ushûl fiqh, yang dikembangkan oleh para Ushûli dalam penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah.
            Kajian demikian terlihat dalam beberapa karya Ushûl fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi  Maqasid al-Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam agar hamba-hamba-Nya memperoleh kemaslahatan dunia dan akhirat. Adapun menurut istilah syariah, dijelaskan oleh Syatibi dengan perkataannya. "saya  maksud dengan maslahah yaitu sesuatu yang kembali pada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak Jadi, tujuan syariat (maqosid syariah) mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'ân surah al-Isra ayat 18 :

مَنْ كانَ يُرِيْدُ العَاجِلَةَ عَجَّلْنَالَهُ فيها مَا نَشَاءُ لِمَنْ تُرِيْدُ  ثُمَّ جَعَلْنَا لَه جَهَنَّمَ يَصْلَهَا مَذْمُوْمًا مَدْحُوْرًا.
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Qs. 17:18)

Kemudian dilanjutkan dengan surah al-Isra ayat 19 :

وَمَنْ أرَادَ الاخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأولئِكَ كان سَعْيُهُمْ مَشْكُوْرًا.
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Qs.17:19).
             Ayat ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh akhirat harus diperolehnya di dunia dengan tuntutan tasyri'. Oleh karenanya orang yang beramal pantas mendapat balasan dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.
             Tujuan Syariah sebagaimana disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, al-Qur'ân dan hadits. Dalam mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian Ushûliyyin, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur itu dengan baik (mashlahah al-dharuriyyah).
          Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia.  Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al-dlarruriyyat, al- hajiyyat dan al- tahsiniyyat.
2. Tingkatan Maslahat           
           Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekumder) dan tahsiniyyat (tersier).
  1. Kebutuhan dhoruriyat Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishas:

وَلَكُمْ فِى القِصَاصِ حَيَاة يَأولِى  الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa"
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qishas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.Kebutuhan.
b.      Kebutuhan al-hajiyat Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.


c.       Kebutuhan al tahsiniyyat Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyyat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.

                 Mengetahui urutan peringkat maslahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, daruriyyat, harus didahulukan daripada peringkat kedua, hajiyyat, dan peringkat ketiga, tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, manakala kemashlahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya. Misalnya seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi jiwanya. Makanan yang dimaksud harus makanan halal. Manakala pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan ynag diharamkan, demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam peringkat daruriyyat; sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat. Jadi harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat daripada peringkat hajiyyat.
                  Begitu pula halnya manakala peringkat tahsiniyyat berbenturan dengan peringkat hajiyyat, maka peringkat hajjiyyat harus didahulukan daripada peringkat tahsiniyyat. Misalnya melaksanakan shalat berjamaah termasuk peringkat hajiyyat, sedangkan persyaratan adanya imam yang shalih, tidak fasik, termasuk peringkat tahsiniyyat. Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang memenuhi persyaratan tesebut, maka dibenarkan berimam pada Imam yang fasik, demi menjaga shalat berjamaah yang bersifat hajiyyat. Dalam persoalan mendirikan shalat, mendirikan shalat adalah dharuriyyat, adapun menghadap kiblat sifatnya hajjiyyat, sedangkan berpakaian menutup tubuh selain aurat sifatnya tahsiniyyat.  Oleh karena itu seorang muslim ia wajib mendirikan shalat, pada saat ia tidak mengetahui arah kiblat, ia shalat kea rah mana saja yang ia yakini arah kiblat, jika ia tidak terarah kepada kiblat, maka tidaklah merusak shalatnya, begitu pula jika ia berpakaian hanya sebatas tertutup aurat, maka ia tidak merusak shalatnya, tetapi shalatnya kurang sempurna. (al-Syatibi, II, 1975; 11 bandingkan Hasballah, 1976;  297)

               Al-Syatibi membagi maslahat dalam tiga hal: Pertama. Mashlahah muktabar, yaitu kemaslahatan yang     berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qishas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain. Kedua, Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama. Ketiga, Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar