PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) DARI GOLONGAN
TIONGHOA
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri
dari seorang ayah, ibu dan anak. Akan tetapi
tidak selalu ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi oleh berbagai macam sebab,
sehingga kadang kala terdapat suatu keluarga yang tidak mempunyai anak.
Berbagai usaha dilakukan oleh setiap
pasangan suami istri untuk memperoleh anak, baik secara alami bahkan melalui
tekhnologi yang paling mutakhir seperti bayi tabung yang tentunya menguras
begitu banyak biaya, tetapi ada pula cara alternatif lain yang paling sering
digunakan yaitu pengangkatan anak atau lebih dikenal dengan istilah Adopsi.
A. Pengertian Anak Angkat Dan Pengangkatan Anak.
Dalam kamus
umum bahasa Indonesia mengartikan “anak angkat adalah anak orang lain yang
diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri”.
Menurut
Surojo Wignodipuro, anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua
yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung
sendiri.
Sementara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak : Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggunng jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau
penetapan pengadilan.
Sedangkan
pengangkatan anak dari segi etimologi berasal dari bahasa Belanda yaitu Adoptie
atau dari bahasa Inggris Adoption yang berarti pengangkatan anak. Secara
definisi, menurut “Surojo Wigjodiporo”, pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkat itu
timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orangtua
dan anak kandungnya sendiri. Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak
adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau
mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya
hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.
B.
Sejarah
Pengangkatan Anak.
Pengangkatan
anak bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah
dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum
dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.
Pada masa
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, dalam kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk
wetboek) tidak di temukan satu ketentuan yang mengatur tentang masalah
pengangkatan anak (Adopsi) dan anak angkat. Burgerlijk wetboek hanya
mengatur tentang ketentuan pengakuan anak di luar pernikahan. Lembaga pengakuan
anak di luar pernikahan berbeda dengan lembaga pengangkatan anak.
Mengingat
kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak telah menunjukan angka yang
meningkat, disamping kultur budaya masyarakat Indonesia asli dan masyarakat
keturunan Tionghoa telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka pemerintah
kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur
secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi hukum
perdata barat (Burgerlijk wetboek).
C.
Tujuan
Pengangkatan Anak.
Di
dalam prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai
beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk
meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi
ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa
mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam
sebab, seperti mandul pada umumnya. Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran
seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka.
Menurut
Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila
seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan
laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun
karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena
dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak laki-laki.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara tegas menyatakan bahwa
tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan
ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang
sangat tergantung dari orangtuanya.
D. Alasan Pengangkatan Anak Dari Golongan Tionghoa.
Ada
dua alasan utama dalam masalah pengangkatan anak di dalam budaya golongan
Tionghoa :
1. Demi pendidikan, masa depan, dan
demi kesehatan si anak.
2. Karena alasan Baji atau hong shui yang bentrok
unsur-unsur antara si anak dengan orang tuanya.
Lalu ada tiga alasan mengapa orang golongan
Tionghoa melakukan pengangkatan anak, alasan itu adalah :
1.
Karena
tidak mempunyai keturunan.
2.
Karena masalah
“ciong” (tanggal lahir tidak sesuai dengan keluarga).
3.
Karena masalah
sebagai pemancing lahirnya anak kandung.
E. Aturan Pengangkatan Anak Bagi Golongan Keturunan
Tionghoa.
Pada
hukum perdata Indonesia ada hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang
tertulis mengatur hubungan antara orangtua dan anak adalah aturan yang ada di
Hukum Perdata (KUHP). Namun kitab ini hanya berlaku pada sebagian masyarakat
Indonesia yaitu mereka yang oleh Undang-Undang dinamakan golongan penduduk yang
dipersamakan dengan orang Eropa serta orang Timur Asing dan orang Indonesia
yang dengan tindakan hukum menyatakan diri tunduk pada hukum itu.
Hukum
adat golongan keluarga Tionghoa menganut garis keturunan laki-laki
(Patrilineal), karena itu nama keluarga (She atau Fam, seperti Tan, Oei, Lim,
dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila tidak ada
keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka mereka akan mengangkat
anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena, itu asas pengangkatan anak
hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki, karena seorang laki-laki Tionghoa
wajib mengusahakan agar cabang keluarganya tidak punah dan ada keturunan yang
melanjutkan merawat abu leluhur.
Menurut
Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut kitab
undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek), adopsi tidak
mungkin diatur karena kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk
wetboek) memandang suatu
perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.
Didalam
hukum tertulis tidak terdapat aturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Namun
bagi golongan Tionghoa yang tunduk pada aturan dalam Burgerlijk
wetboek. ada pengaturannya secara tertulis
dalam Staatsblad.
1917 No. 129.
Untuk
golongan Tionghoa, berdasarkan Statsblad. 1917 No. 129 ditambah
dengan Staatsblad.
1924 No. 556 hampir seluruh kitab
undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) di nyatakan berlaku bagi golongan
Tionghoa. Berlakunya kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk
wetboek) bagi golongan Tionghoa ada
beberapa pengecualian dan ada pula lembaga yang diberikan pengaturan secara
khusus, yaitu perihal masalah pengangkatan anak.
Diberlakukannya
kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk
wetboek) bagi golongan
Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi
masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga
adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya kitab
undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) sangat kental
dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau
keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau
pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam
Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi
masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia.
Namun
sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa
dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur
pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi
tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak
perempuan.
Perkembangan
pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak
tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan
oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal 29
Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963
tertanggal 17 Oktober 1963.
F. Jenis Pengangkatan Anak Dalam Tradisi Golongan
Tionghoa.
Dalam
tradisi golongan Tionghoa, ada tiga jenis pengangkatan anak :
1.
Anak
tersebut anak yatim piatu, dimana tidak diketahui nama marganya atau nama orang
tuanya. Biasanya jenis pengangkatan seperti ini, orang tua angkatnya berhak
memberi nama anak tersebut juga marganya, dan menganggap dia sebagai anggota
keluarga sendiri.
2.
Anak
tersebut anak yatim piatu dan punya nama marga. Anak angkat jenis ini tidak
perlu diberi nama marga, hanya memberi nama saja. Anak angkat ini juga masih
bisa tinggal dalam lingkungan keluarganya sendiri.
3.
Anak
yang dikwepang atau anak asuh. Kategori anak asuh adalah anak yang punya orang
tua, punya nama marga dan nama sendiri. Biasanya anak yang di kwepang masih
tinggal bersama orang tua aslinya, dan memanggil keluarga orang tua angkat
sebagai anggota keluarga dalam. Contoh si A di kwepang oleh keluarga B. Si A
memanggil papa dan mama kandungnya sendiri dengan sebutan II Atau Ithio ( Bibi
atau Paman). Sementara didalam Keluarga si B ia memanggil Baba dan Mama. Dalam
hal ini si A memiliki 2 orang tua.
Dalam Tradisi Tionghoa yang dimaksud dengan
anak yang dikwepang adalah anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak
cocok dengan orang tuanya menurut perhitungan Bajinya atau hong shuinya.
Biasanya menitip anak asuh tujuannya adalah agar si anak bisa tumbuh dengan
sehat dan masih menghormati kedua orang tuanya sendiri dan orang tua Asuhnya.
G. Akibat Hukum Pengangkatan Anak.
Ter
Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai
anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak
(adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’’ dan
menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai
seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap
kerabatnya kedua orangtua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing
dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapak atau ibu angkatnya
atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang
tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam
perkawinan. Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak
sepenuhnya atas warisan.
Lalu
Wirjono Prodjodikoro berpendapat, pada hakekatnya seorang baru dapat
dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir
dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.
Pengadilan
dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara
anak dengan orangtua sebagai berikut :
1. Hubungan darah.
Mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk
memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
2. Hubungan waris.
Dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak
sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang
diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
3. Hubungan perwalian.
Dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya
anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya
ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban
orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.
4. Hubungan marga, gelar, dan kedudukan adat.
Dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.
SIMPULAN
Anak mempunyai
peranan yang penting dalam kehidupan berkeluarga, berbagai usaha dilakukan oleh
setiap pasangan suami istri untuk memperoleh anak tak terkecuali dengan cara
pengangkatan anak atau adopsi. Salah satu golongan masyarakat di Indonesia
yaitu keturunan Tionghoa melakukan praktik pengangkatan anak bagi mereka yang
tidak mempunyai keturunan sebagai penerus dari keluarga mereka. Masalah ini di
atur dalam Statsblad. 1917 No. 129 sebagai hukum
tambahan dari kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk
wetboek) yang tidak mengatur masalah
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Soeroso, R., Perbandingan Hukum Perdata, Edisi pertama,
Cetakan keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31739/3/Chapter%20II.pdf , di akses
pada tanggal 19 Mei 2013.
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Artikel%20Arah%20Baru%20Pengangkatan%20Anak%20di%20Indonesia%20Oleh%20Musthofa%20Sy..pdf , di akses pada tanggal 19 Mei 2013.
http://www.indosiar.com/ragam/adopsi-pengangkatan-anak_21412.html , di akses pada tanggal 20 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar