Rabu, 25 Mei 2016

PAPER TENTANG HUKUM PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) DARI GOLONGAN TIONGHOA



PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) DARI GOLONGAN TIONGHOA
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Akan tetapi tidak selalu ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi oleh berbagai macam sebab, sehingga kadang kala terdapat suatu keluarga yang tidak mempunyai anak.
Berbagai usaha dilakukan oleh setiap pasangan suami istri untuk memperoleh anak, baik secara alami bahkan melalui tekhnologi yang paling mutakhir seperti bayi tabung yang tentunya menguras begitu banyak biaya, tetapi ada pula cara alternatif lain yang paling sering digunakan yaitu pengangkatan anak atau lebih dikenal dengan istilah Adopsi.
A.    Pengertian Anak Angkat Dan Pengangkatan Anak.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan “anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri”.

Menurut Surojo Wignodipuro, anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak : Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

Sedangkan pengangkatan anak dari segi etimologi berasal dari bahasa Belanda yaitu Adoptie atau dari bahasa Inggris Adoption yang berarti pengangkatan anak. Secara definisi, menurut “Surojo Wigjodiporo”, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orangtua dan anak kandungnya sendiri. Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.

B.     Sejarah Pengangkatan Anak.

Pengangkatan anak bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, dalam kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) tidak di temukan satu ketentuan yang mengatur tentang masalah pengangkatan anak (Adopsi) dan anak angkat. Burgerlijk wetboek hanya mengatur tentang ketentuan pengakuan anak di luar pernikahan. Lembaga pengakuan anak di luar pernikahan berbeda dengan lembaga pengangkatan anak.

Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak telah menunjukan angka yang meningkat, disamping kultur budaya masyarakat Indonesia asli dan masyarakat keturunan Tionghoa telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi hukum perdata barat (Burgerlijk wetboek).

C.    Tujuan Pengangkatan Anak.

Di dalam prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam sebab, seperti mandul pada umumnya. Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka.

Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak laki-laki.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orangtuanya.

D.    Alasan Pengangkatan Anak Dari Golongan Tionghoa.

Ada dua alasan utama dalam masalah pengangkatan anak di dalam budaya golongan Tionghoa :

1.      Demi pendidikan, masa depan, dan demi kesehatan si anak.
2.      Karena alasan Baji atau hong shui yang bentrok unsur-unsur antara si anak dengan orang tuanya.

Lalu ada tiga alasan mengapa orang golongan Tionghoa melakukan pengangkatan anak, alasan itu adalah :

1.      Karena tidak mempunyai keturunan.
2.      Karena masalah “ciong” (tanggal lahir tidak sesuai dengan keluarga).
3.      Karena masalah sebagai pemancing lahirnya anak kandung.
E.     Aturan Pengangkatan Anak Bagi Golongan Keturunan Tionghoa.

Pada hukum perdata Indonesia ada hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis mengatur hubungan antara orangtua dan anak adalah aturan yang ada di Hukum Perdata (KUHP). Namun kitab ini hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia yaitu mereka yang oleh Undang-Undang dinamakan golongan penduduk yang dipersamakan dengan orang Eropa serta orang Timur Asing dan orang Indonesia yang dengan tindakan hukum menyatakan diri tunduk pada hukum itu.

Hukum adat golongan keluarga Tionghoa menganut garis keturunan laki-laki (Patrilineal), karena itu nama keluarga (She atau Fam, seperti Tan, Oei, Lim, dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila tidak ada keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka mereka akan mengangkat anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena, itu asas pengangkatan anak hanya bisa dilakukan oleh seorang laki-laki, karena seorang laki-laki Tionghoa wajib mengusahakan agar cabang keluarganya tidak punah dan ada keturunan yang melanjutkan merawat abu leluhur.

Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek), adopsi tidak mungkin diatur karena kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.

Didalam hukum tertulis tidak terdapat aturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Namun bagi golongan Tionghoa yang tunduk pada aturan dalam Burgerlijk wetboek. ada pengaturannya secara tertulis dalam Staatsblad. 1917 No. 129.

Untuk golongan Tionghoa, berdasarkan Statsblad. 1917 No. 129 ditambah dengan Staatsblad. 1924 No. 556  hampir seluruh kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) di nyatakan berlaku bagi golongan Tionghoa. Berlakunya kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) bagi golongan Tionghoa ada beberapa pengecualian dan ada pula lembaga yang diberikan pengaturan secara khusus, yaitu perihal masalah pengangkatan anak.

Diberlakukannya kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia.

Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan.
Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober 1963.

F.     Jenis Pengangkatan Anak Dalam Tradisi Golongan Tionghoa.

Dalam tradisi golongan Tionghoa, ada tiga jenis pengangkatan anak :

1.      Anak tersebut anak yatim piatu, dimana tidak diketahui nama marganya atau nama orang tuanya. Biasanya jenis pengangkatan seperti ini, orang tua angkatnya berhak memberi nama anak tersebut juga marganya, dan menganggap dia sebagai anggota keluarga sendiri.
2.      Anak tersebut anak yatim piatu dan punya nama marga. Anak angkat jenis ini tidak perlu diberi nama marga, hanya memberi nama saja. Anak angkat ini juga masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarganya sendiri.
3.      Anak yang dikwepang atau anak asuh. Kategori anak asuh adalah anak yang punya orang tua, punya nama marga dan nama sendiri. Biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orang tua aslinya, dan memanggil keluarga orang tua angkat sebagai anggota keluarga dalam. Contoh si A di kwepang oleh keluarga B. Si A memanggil papa dan mama kandungnya sendiri dengan sebutan II Atau Ithio ( Bibi atau Paman). Sementara didalam Keluarga si B ia memanggil Baba dan Mama. Dalam hal ini si A memiliki 2 orang tua.

Dalam Tradisi Tionghoa yang dimaksud dengan anak yang dikwepang adalah anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orang tuanya menurut perhitungan Bajinya atau hong shuinya. Biasanya menitip anak asuh tujuannya adalah agar si anak bisa tumbuh dengan sehat dan masih menghormati kedua orang tuanya sendiri dan orang tua Asuhnya.


G.    Akibat Hukum Pengangkatan Anak.

Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orangtua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapak atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.

Lalu Wirjono Prodjodikoro berpendapat, pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut :

1.      Hubungan darah.

Mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

2.      Hubungan waris.

Dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

3.      Hubungan perwalian.

Dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.

4.      Hubungan marga, gelar, dan kedudukan adat.

Dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.

SIMPULAN

Anak mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan berkeluarga, berbagai usaha dilakukan oleh setiap pasangan suami istri untuk memperoleh anak tak terkecuali dengan cara pengangkatan anak atau adopsi. Salah satu golongan masyarakat di Indonesia yaitu keturunan Tionghoa melakukan praktik pengangkatan anak bagi mereka yang tidak mempunyai keturunan sebagai penerus dari keluarga mereka. Masalah ini di atur dalam Statsblad. 1917 No. 129 sebagai hukum tambahan dari kitab undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetboek) yang tidak mengatur masalah tersebut.













DAFTAR PUSTAKA

Soeroso, R., Perbandingan Hukum Perdata, Edisi pertama, Cetakan keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar