DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................................ ...1
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ...2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ...3
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..4
PEMBAHASAN
A. Bersuci………………………………………………………………………............4
B. Shalat…………………………………………………………………………...…...6
C. Zakat…………………………………………………………………………….…..7
D. Puasa……………………………………………………………………………..….8
E. Haji…………………………………………………………………………………..9
PENUTUP/SIMPULAN…………………………………………………………………...10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………....11
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, mereka diciptakan oleh Allah SWT semata-mata tak lepas dari tujuan untuk
beribadah kepadanya. Ibadah adalah
tindakan untuk mematuhi
perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, dengan
kata lain ibadah ialah suatu orientasi dari kehidupan dan orientasi tersebut
hanya tertuju kepada Allah SWT
saja.
Beribadah kepada Allah SWT ialah menghambakan diri kepadanya
dengan penuh kekhusuan, memurnikan ketaatan hanya kepadanya, karena hanya
merasakan bahwa hanya Allah SWT-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara,
dan mendidik seluruh makhluk.
Ibadah kepada Allah SWT dapat berupa perbuatan
atau perkataan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
menjelaskan tentang masalah ibadah, disini akan kami paparkan sebagian kecil
dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang masalah ibadah beserta
tafsirnya, sebagai berikut :
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG IBADAH
A. Bersuci
y7t/$uÏOur
öÎdgsÜsù
ÇÍÈ
Dan pakaianmu bersihkanlah, (Q.S Al-Muddassir : 4)
# Kosakata
Kata tsiyab adalah jamak dari kata tsaub/pakaian.
Di samping makna tersebut, ia digunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna,
antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga, dan istri.
Kata thahhir adalah bentuk perintah
dari kata thahhara yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata
ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa
atau pelanggaran.
# Tafsir Ayat
Semua pemeluk agama, apapun agamanya
--lebih-lebih lagi Islam—menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan
kebersihan batin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan banyak artinya jika
badan seseorang kotor; selanjutnya, membersihkan pakaian dan badan belum
berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin menempuh jalan
pintas dengan berkata “yang penting adalah hati atau jiwa, biarlah badan atau
pakaian kotor karena Tuhan tidak memandang kepada bentuk-bentuk lahir”. Sikap
tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini jika kita memahaminya dalam arti
hakiki. Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa pengertian hakiki tersebut mengantar
kepada keharusan memerhatikan kebersihan badan dan jiwa karena, jangankan jiwa
atau badan, pakaian pun diperintahkan untuk dibersihkan. Sebagai contoh, jika
terdapat perintah untuk menghormati kakak, tentu lebih diperintahkan lagi untuk
menghormati ayah, walaupun tidak tersurat dalam redaksi perintah. Di sisi lain,
dipahami dari petunjuk ayat ini bahwa seseorang yang bertugas melayani
masyarakat dan membimbingnya harus memiliki penampilan yang menyenangkan,
antara lain kebersihan pakaiannya.[1]
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
#sÎ)
óOçFôJè%
n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
(#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr
öNä3tÏ÷r&ur
n<Î)
È,Ïù#tyJø9$#
(#qßs|¡øB$#ur
öNä3ÅrâäãÎ/
öNà6n=ã_ör&ur
n<Î)
Èû÷üt6÷ès3ø9$#
4
bÎ)ur
öNçGZä.
$Y6ãZã_
(#rã£g©Û$$sù
4
bÎ)ur
NçGYä.
#ÓyÌó£D
÷rr&
4n?tã
@xÿy
÷rr&
uä!%y`
Ótnr&
Nä3YÏiB
z`ÏiB
ÅÝͬ!$tóø9$#
÷rr&
ãMçGó¡yJ»s9
uä!$|¡ÏiY9$#
öNn=sù
(#rßÅgrB
[ä!$tB
(#qßJ£JutFsù
#YÏè|¹
$Y6ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù
öNà6Ïdqã_âqÎ/
Nä3Ï÷r&ur
çm÷YÏiB
4
$tB
ßÌã
ª!$#
@yèôfuÏ9
Nà6øn=tæ
ô`ÏiB
8ltym
`Å3»s9ur
ßÌã
öNä.tÎdgsÜãÏ9
§NÏGãÏ9ur
¼çmtGyJ÷èÏR
öNä3øn=tæ
öNà6¯=yès9
crãä3ô±n@
ÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur. (Q.S Al-Maidah
: 6)
# Kosakata
Kata faghsilu/basuhlah berarti
mengalirkan air pada anggota badan yang dimaksud. Kata al-gha’ith bermakna
tempat yang tinggi. Kata lamastum an-nisa’ yang diterjemahkan di
atas dengan kamu menyentuh perempuan. Kata ini digunakan untuk
mengekspresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Dan kata sha’idan,
yang diterjemahkan dengan tanah.
# Tafsir Ayat
Al-Qusyairi dan Ibnu Athiyah menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan
tentang kisah Aisyah yang kehilangan kalung dalam perang Al-Musairi. Ayat ini
adalah ayat yang menjelaskan tentang wudhu.
Ibnu Athiyah berkata: “Namun karena wudhu sudah ditetapkan dan diamalkan
dikalangan mereka (para sahabat), maka seolah-olah ayat ini tidak memberikan
tambahan apapun kepada mereka kecuali tilawahnya saja. Namun demikian, ayat ini memberi manfaat
dan keringanan kepada mereka dalam hal tayamum. Kami telah menyebutkan pada salah
satu ayat dalam surah An-Nisaa’ hal yang berseberangan dengan ini, wallahu
a’lam.
Apa yang dalam ayat ini adalah termasuk
kedalam hal-hal yang diperintahkan, yaitu agar memenuhi akad dan hukum syara’,
juga termasuk kedalam hal yang telah disebutkan yaitu penyempurnaan nikmat.
Sebab pemberian keringanan (yang terkandung dalam ayat) ini termasuk kedalam
kategori penyempurnaan nikmat.[2]
B. Shalat
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
Ï8qä9à$Î!
ħôJ¤±9$#
4n<Î)
È,|¡xî
È@ø©9$#
tb#uäöè%ur
Ìôfxÿø9$#
(
¨bÎ)
tb#uäöè%
Ìôfxÿø9$#
c%x.
#Yqåkô¶tB
ÇÐÑÈ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat). (Q.S Al-Isra : 78)
# Kosakata
Kata li duluk terambil dari kata dalaka
yang bila dikaitkan dengan matahari, seperti bunyi ayat ini, ia berarti tenggalam,
atau menguning, atau tergelincir dari tengahnya. Kata ghasaq
pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasaq al-lail karena angkasa
dipenuhi oleh kegelapannya.
# Tafsir Ayat
Ayat-ayat yang lalu menjelaskan betapa
besar gangguan dan rencana maker kaum musyrikin, namun Allah menyelamatkan
Rasul saw. Untuk meraih dan mempertahankan anugerah pemeliharaan Allah itu,
ayat ini menuntut Nabi saw dan umatnya dengan menyatakan bahwa: laksanakanlah
secara bersinambung lagi sesuai dengan syarat dan sunnah-sunnahnya semua jenis shalat
yang wajib dari sesudah matahari tergelincir, yakni condong dari
pertengahan langit sampai muncul gelapnya malam, dan laksanakan
pula seperti itu Qur’an/bacaan di waktu al-fajr,yakni shalat
subuh. Sesungguhnya Qur’an/bacaan di waktu al-fajr itu, yakni
shalat subuh itu, adalah bacaan, yakni shalat yang disaksikan
oleh para malaikat.[3]
C. Zakat
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4q2¨9$#
4
$tBur
(#qãBÏds)è?
/ä3Å¡àÿRL{
ô`ÏiB
9öyz
çnrßÅgrB
yYÏã
«!$#
3
¨bÎ)
©!$#
$yJÎ/
cqè=yJ÷ès?
×ÅÁt/
ÇÊÊÉÈ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja
yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah : 110)
# Kosakata
Kata aqimu adalah tashrifan ketiga dari fiil aqama-yuqimu,
yang berarti laksanakanlah atau dirikanlah.
# Tafsir Ayat
Untuk meredam keinginan membalas, serta menenangkan hati kaum
muslimin, Allah memerintahkan mereka: Laksanakanlah shalat secara baik
dan berkesinambungan dan tunaikanlah zakat dengan sempurna kadar dan
cara pemberiannyan serta tanpa menunda-nunda. Demikian makna kata aqimu
dan atu yang menandai perintah shalat dan zakat sambil mengingatkan
bahwa dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan untuk diri kamu, pasti kamu
akan mendapatkannya, yakni ganjarannya disisi Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, apakah pekerjaan itu berupa kebaikan
atau keburukan, sebagaimana dipahami dari penyebutan nama Allah pada penutup
ayat ini, bukan dengan menyatakan sesungguhnya “Dia” karena pada umumnya
jika kata ganti nama yang disebut maka biasanya ia hanya mengisyaratkan makna
yang disebut sebelumnya, sehingga kalau kata “Dia” yang digunakan pada penutup
ayat ini—bukan kata Allah—maka maknanya adalah Dia mengetahui kebaikan yang
kamu usahakan.[4]
* $yJ¯RÎ)
àM»s%y¢Á9$#
Ïä!#ts)àÿù=Ï9
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur
$pkön=tæ
Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur
öNåkæ5qè=è%
Îûur
É>$s%Ìh9$#
tûüÏBÌ»tóø9$#ur
Îûur
È@Î6y
«!$#
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
(
ZpÒÌsù
ÆÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÅ6ym
ÇÏÉÈ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S At-Taubah : 60)
# Kosakata
Kata ‘alaiha memberi kesan bahwa
para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan sunguh-sungguh dan
mengakibatkan keletihan. Kata al-gharimin adalah bentuk jamak dari kata gharim,
yakni “orang yang berhutang” atau dililit hutang sehingga tidak mampu membayarnya, walaupun yang
bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
# Tafsir Ayat
Ayat ini menggambarkan bahwa ada yang
keberatan tentang pembagian Nabi saw. Sambil berkata bahwa beliau tidak adil
karena membagikan kepada para pengembala dan lain-lain. Ayat ini membenarkan
sikap Nabi itu, sambil menjelaskan bahwa sesungguhnya zakat-zakat, bukan
untuk mereka yang mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah dibagikan unutuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola pengelolanya, yakni
yang mengumpulkan zakat, mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu
membaginya, dan diberikan juga kepada, para mu’allaf, yakni orang-orang
yang dibujuk hatinya serta untuk memerdekakan para hamba sahaya, dan
orang-orang yang berhutang bukan dalam kedurhakaan kepada Allah, dan
disalurkan juga pada sibilillah dan orang-orang yang kehabisan bekal
yang sedang dalam perjalanan. Semua itu sebagai sesuattu ketetapan yang
diwajibklan Allah, dan Allah Maha Mengetahui siapa yang wajar menerima dan
Dia Maha Bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya. Karena itu zakat
tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu selama mereka ada.[5]
D. Puasa
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
ãP$uÅ_Á9$#
$yJx.
|=ÏGä.
n?tã
úïÏ%©!$#
`ÏB
öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9
tbqà)Gs?
ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S Al-Baqarah : 183)
# Kosakata
Kata kutiba diterjemahkan dengan
diwajibkan, berasal dari kata kerja kataba-yaktubu yang berarti
menulis.
# Tafsir Ayat
Demikianlah Al-Qur’an menerangkan bahwa
puasa dan shalat diwajibkan bagi orang-orang yang sudah akil baligh, bukan bagi
orang yang belum baligh, atau orang baligh yang akalnya dibawah pengaruh
tertentu, juga bukan perempuan yang sedang haid.
Allah SWT pun mewajibkan meraka untuk
berpuasa selama satu bulan. Satu bulan bagi mereka adalah antara kemunculan dua
bulan sabit. Terkadang jumlahnya 30 hari dan terkadang 29 hari.[6]
E. Haji
ÏmÏù
7M»t#uä
×M»uZÉit/
ãP$s)¨B
zOÏdºtö/Î)
(
`tBur
¼ã&s#yzy
tb%x.
$YYÏB#uä
3
¬!ur
n?tã
Ĩ$¨Z9$#
kÏm
ÏMøt7ø9$#
Ç`tB
tí$sÜtGó$#
Ïmøs9Î)
WxÎ6y
4
`tBur
txÿx.
¨bÎ*sù
©!$#
;ÓÍ_xî
Ç`tã
tûüÏJn=»yèø9$#
ÇÒÐÈ
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam. (Q.S Ali Imran : 97)
# Kosakata
Kata maqam diartikan dengan tempat
berdiri, Maqam Ibrahim adalah tempat beliau (Nabi Ibrahim AS)
berdiri membangun Ka’bah. Kata amnan, yakni keamanan, bukan sekedar
tempat memperoleh keamanan.
# Tafsir Ayat
Setelah menjelaskan sepintas sejarah ka’bah
dan kedudukannya sebagai hudan/petunjuk maka hidayah dan petunjuk itu
diperinci bahwa di sana terdapat tanda-tanda yang nyata , di antaranya maqam
Ibrahim; antara lain bekas telapak kaki beliau. Di samping itu, barang
siapa memasukinya Baitullah itu menjadi amanlah dia; tidak ada yang
mengganggunya. Ini sebagai bukti kekuasaan Allah menguasai jiwa manusia dan
sebagai bukti pula keagungan tempat itu. Karena itu, berkunjung ke sana untuk mengerjakan
haji menuju Bait Allah adalah kewajiban manusia seluruhnya bukan hanya yang
bertempat tinggal di sana atau khusus keturunan Ibrahim dan Ismail as. Itu
adalah kewajiban terhadap Allah, yaitu bagi siapa yang telah akil
baligh/mukalaf dan yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana dari segi
kemampuan fisik dan persiapan bekal untuk dirinya dan keluarganya yang
ditinggal dan selamanya perjalanan itu aman bagi dirinya. Mereka yang
melaksanakannya dengan tulus lagi sempurna adalah orang-orang yang beriman dan
wajar mendapat ganjaran surga, sedang barang siapa tidak melaksanakan
ibadah haji padahal dia mampu atau mengingkari kewajiban haji, maka
sesungguhnya Allah mahakaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam,
baik dari yang taat maupun yang ingkar.[7]
PENUTUP/SIMPULAN
Dari paparan
diatas kita bisa mengambil pelajaran dari tafsiran-tafsiran tentang ayat-ayat
yang berhubungan dengan ibadah. Ibadah adalah
suatu perintah dari Allah yang harus kita laksanakan dengan jiwa dan hati yang
tulus dan ikhlas. Ibadah kita, mengisyaratkan bahwa kita sebagai seorang hamba
membutuhkan terhadap rahmat, hidayah, taufiq maupun pertolongan dari Allah SWT,
akan tetapi perlu di ingat bahwa rasa kebutuhan kita terhadap Allah tidak akan
mengurangi rasa tulus ikhlas kita dalam beramal.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir
Al-Qurtubi/Syaikh Al Qurtubi; penerjemah, Ahmad Khotib; editor, Mukhlis B.
Mukti-Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Tafsir Al
Imam Asy-Syafi’i /Tafsir Imam Syafi’I, menyelami kedalaman kandungan
Al-Qur’an, penerjemah, Ali Sultan, Cet I, Jakarta Timur : Al Mahira, 2008.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
Jakarta : Lentera Hati 2002.
[1] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002.
Volume 14, hal : 447-449
[3] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002.
Volume 7, hal : 164
[4] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002.
Volume 1, hal : 353
[6] . Tafsir Imam Syafi’I, menyelami kedalaman
kandungan Al-Qur’an, penerjemah, Ali Sultan, Cet I, Jakarta Timur : Al Mahira, 2008. Hal :
280
[7] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002.
Volume 2, hal : 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar