Rabu, 25 Mei 2016

Makalah TAFSIR AL-QUR’AN TENTANG AYAT-AYAT IBADAH



DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................ ...1
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ...2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ...3 PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..4
PEMBAHASAN
A.    Bersuci………………………………………………………………………............4
B.     Shalat…………………………………………………………………………...…...6
C.     Zakat…………………………………………………………………………….…..7
D.    Puasa……………………………………………………………………………..….8
E.     Haji…………………………………………………………………………………..9
PENUTUP/SIMPULAN…………………………………………………………………...10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………....11














PENDAHULUAN
 Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, mereka diciptakan oleh Allah SWT semata-mata tak lepas dari tujuan untuk beribadah kepadanya. Ibadah adalah tindakan untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, dengan kata lain ibadah ialah suatu orientasi dari kehidupan dan orientasi tersebut hanya tertuju kepada Allah SWT saja.
Beribadah kepada Allah SWT ialah menghambakan diri kepadanya dengan penuh kekhusuan, memurnikan ketaatan hanya kepadanya, karena hanya merasakan bahwa hanya Allah SWT-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara, dan mendidik seluruh makhluk.
Ibadah kepada Allah SWT dapat berupa perbuatan atau perkataan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah ibadah, disini akan kami paparkan sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang masalah ibadah beserta tafsirnya, sebagai berikut :

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG IBADAH
A.    Bersuci
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ  
Dan pakaianmu bersihkanlah, (Q.S Al-Muddassir : 4)
# Kosakata
Kata tsiyab adalah jamak dari kata tsaub/pakaian. Di samping makna tersebut, ia digunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna, antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga, dan istri.
Kata thahhir adalah bentuk perintah dari kata thahhara yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa atau pelanggaran.
# Tafsir Ayat
Semua pemeluk agama, apapun agamanya --lebih-lebih lagi Islam—menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan kebersihan batin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan banyak artinya jika badan seseorang kotor; selanjutnya, membersihkan pakaian dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin menempuh jalan pintas dengan berkata “yang penting adalah hati atau jiwa, biarlah badan atau pakaian kotor karena Tuhan tidak memandang kepada bentuk-bentuk lahir”. Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan oleh ayat ini jika kita memahaminya dalam arti hakiki. Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa pengertian hakiki tersebut mengantar kepada keharusan memerhatikan kebersihan badan dan jiwa karena, jangankan jiwa atau badan, pakaian pun diperintahkan untuk dibersihkan. Sebagai contoh, jika terdapat perintah untuk menghormati kakak, tentu lebih diperintahkan lagi untuk menghormati ayah, walaupun tidak tersurat dalam redaksi perintah. Di sisi lain, dipahami dari petunjuk ayat ini bahwa seseorang yang bertugas melayani masyarakat dan membimbingnya harus memiliki penampilan yang menyenangkan, antara lain kebersihan pakaiannya.[1]
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Q.S Al-Maidah : 6)
# Kosakata
Kata faghsilu/basuhlah berarti mengalirkan air pada anggota badan yang dimaksud. Kata al-gha’ith bermakna tempat yang tinggi. Kata lamastum an-nisa’ yang diterjemahkan di atas dengan kamu menyentuh perempuan. Kata ini digunakan untuk mengekspresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Dan kata sha’idan, yang diterjemahkan dengan tanah.
# Tafsir Ayat
Al-Qusyairi dan Ibnu Athiyah menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan tentang kisah Aisyah yang kehilangan kalung dalam perang Al-Musairi. Ayat ini adalah ayat yang menjelaskan tentang wudhu.
Ibnu Athiyah berkata: “Namun karena wudhu sudah ditetapkan dan diamalkan dikalangan mereka (para sahabat), maka seolah-olah ayat ini tidak memberikan tambahan apapun kepada mereka kecuali tilawahnya saja. Namun demikian, ayat ini memberi manfaat dan keringanan kepada mereka dalam hal tayamum. Kami telah menyebutkan pada salah satu ayat dalam surah An-Nisaa’ hal yang berseberangan dengan ini, wallahu a’lam.
Apa yang dalam ayat ini adalah termasuk kedalam hal-hal yang diperintahkan, yaitu agar memenuhi akad dan hukum syara’, juga termasuk kedalam hal yang telah disebutkan yaitu penyempurnaan nikmat. Sebab pemberian keringanan (yang terkandung dalam ayat) ini termasuk kedalam kategori penyempurnaan nikmat.[2]
B.     Shalat
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB ÇÐÑÈ  
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Q.S Al-Isra : 78)
# Kosakata
Kata li duluk terambil dari kata dalaka yang bila dikaitkan dengan matahari, seperti bunyi ayat ini, ia berarti tenggalam, atau menguning, atau tergelincir dari tengahnya. Kata ghasaq pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasaq al-lail karena angkasa dipenuhi oleh kegelapannya.
# Tafsir Ayat
Ayat-ayat yang lalu menjelaskan betapa besar gangguan dan rencana maker kaum musyrikin, namun Allah menyelamatkan Rasul saw. Untuk meraih dan mempertahankan anugerah pemeliharaan Allah itu, ayat ini menuntut Nabi saw dan umatnya dengan menyatakan bahwa: laksanakanlah secara bersinambung lagi sesuai dengan syarat dan sunnah-sunnahnya semua jenis shalat yang wajib dari sesudah matahari tergelincir, yakni condong dari pertengahan langit sampai muncul gelapnya malam, dan laksanakan pula seperti itu Qur’an/bacaan di waktu al-fajr,yakni shalat subuh. Sesungguhnya Qur’an/bacaan di waktu al-fajr itu, yakni shalat subuh itu, adalah bacaan, yakni shalat yang disaksikan oleh para malaikat.[3]
C.    Zakat
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ  
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah : 110)
# Kosakata
Kata aqimu adalah tashrifan ketiga dari fiil aqama-yuqimu, yang berarti laksanakanlah atau dirikanlah.
# Tafsir Ayat
Untuk meredam keinginan membalas, serta menenangkan hati kaum muslimin, Allah memerintahkan mereka: Laksanakanlah shalat secara baik dan berkesinambungan dan tunaikanlah zakat dengan sempurna kadar dan cara pemberiannyan serta tanpa menunda-nunda. Demikian makna kata aqimu dan atu yang menandai perintah shalat dan zakat sambil mengingatkan bahwa dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan untuk diri kamu, pasti kamu akan mendapatkannya, yakni ganjarannya disisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, apakah pekerjaan itu berupa kebaikan atau keburukan, sebagaimana dipahami dari penyebutan nama Allah pada penutup ayat ini, bukan dengan menyatakan sesungguhnya “Dia” karena pada umumnya jika kata ganti nama yang disebut maka biasanya ia hanya mengisyaratkan makna yang disebut sebelumnya, sehingga kalau kata “Dia” yang digunakan pada penutup ayat ini—bukan kata Allah—maka maknanya adalah Dia mengetahui kebaikan yang kamu usahakan.[4]
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S At-Taubah : 60)
# Kosakata
Kata ‘alaiha memberi kesan bahwa para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan sunguh-sungguh dan mengakibatkan keletihan. Kata al-gharimin adalah bentuk jamak dari kata gharim, yakni “orang yang berhutang” atau dililit hutang sehingga tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
# Tafsir Ayat
Ayat ini menggambarkan bahwa ada yang keberatan tentang pembagian Nabi saw. Sambil berkata bahwa beliau tidak adil karena membagikan kepada para pengembala dan lain-lain. Ayat ini membenarkan sikap Nabi itu, sambil menjelaskan bahwa sesungguhnya zakat-zakat, bukan untuk mereka yang mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah dibagikan unutuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola pengelolanya, yakni yang mengumpulkan zakat, mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membaginya, dan diberikan juga kepada, para mu’allaf, yakni orang-orang yang dibujuk hatinya serta untuk memerdekakan para hamba sahaya, dan orang-orang yang berhutang bukan dalam kedurhakaan kepada Allah, dan disalurkan juga pada sibilillah dan orang-orang yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan. Semua itu sebagai sesuattu ketetapan yang diwajibklan Allah, dan Allah Maha Mengetahui siapa yang wajar menerima dan Dia Maha Bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya. Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu selama mereka ada.[5]
D.    Puasa
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S Al-Baqarah : 183)
# Kosakata
Kata kutiba diterjemahkan dengan diwajibkan, berasal dari kata kerja kataba-yaktubu yang berarti menulis.
# Tafsir Ayat
Demikianlah Al-Qur’an menerangkan bahwa puasa dan shalat diwajibkan bagi orang-orang yang sudah akil baligh, bukan bagi orang yang belum baligh, atau orang baligh yang akalnya dibawah pengaruh tertentu, juga bukan perempuan yang sedang haid.
Allah SWT pun mewajibkan meraka untuk berpuasa selama satu bulan. Satu bulan bagi mereka adalah antara kemunculan dua bulan sabit. Terkadang jumlahnya 30 hari dan terkadang 29 hari.[6]
E.     Haji
ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ  
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S Ali Imran : 97)
# Kosakata
Kata maqam diartikan dengan tempat berdiri, Maqam Ibrahim adalah tempat beliau (Nabi Ibrahim AS) berdiri membangun Ka’bah. Kata amnan, yakni keamanan, bukan sekedar tempat memperoleh keamanan.
# Tafsir Ayat
Setelah menjelaskan sepintas sejarah ka’bah dan kedudukannya sebagai hudan/petunjuk maka hidayah dan petunjuk itu diperinci bahwa di sana terdapat tanda-tanda yang nyata , di antaranya maqam Ibrahim; antara lain bekas telapak kaki beliau. Di samping itu, barang siapa memasukinya Baitullah itu menjadi amanlah dia; tidak ada yang mengganggunya. Ini sebagai bukti kekuasaan Allah menguasai jiwa manusia dan sebagai bukti pula keagungan tempat itu. Karena itu, berkunjung ke sana untuk mengerjakan haji menuju Bait Allah adalah kewajiban manusia seluruhnya bukan hanya yang bertempat tinggal di sana atau khusus keturunan Ibrahim dan Ismail as. Itu adalah kewajiban terhadap Allah, yaitu bagi siapa yang telah akil baligh/mukalaf dan yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana dari segi kemampuan fisik dan persiapan bekal untuk dirinya dan keluarganya yang ditinggal dan selamanya perjalanan itu aman bagi dirinya. Mereka yang melaksanakannya dengan tulus lagi sempurna adalah orang-orang yang beriman dan wajar mendapat ganjaran surga, sedang barang siapa tidak melaksanakan ibadah haji padahal dia mampu atau mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah mahakaya tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam, baik dari yang taat maupun yang ingkar.[7]

PENUTUP/SIMPULAN
Dari paparan diatas kita bisa mengambil pelajaran dari tafsiran-tafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ibadah. Ibadah adalah suatu perintah dari Allah yang harus kita laksanakan dengan jiwa dan hati yang tulus dan ikhlas. Ibadah kita, mengisyaratkan bahwa kita sebagai seorang hamba membutuhkan terhadap rahmat, hidayah, taufiq maupun pertolongan dari Allah SWT, akan tetapi perlu di ingat bahwa rasa kebutuhan kita terhadap Allah tidak akan mengurangi rasa tulus ikhlas kita dalam beramal.



DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Al-Qurtubi/Syaikh Al Qurtubi; penerjemah, Ahmad Khotib; editor, Mukhlis B. Mukti-Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Tafsir Al Imam Asy-Syafi’i /Tafsir Imam Syafi’I, menyelami kedalaman kandungan Al-Qur’an, penerjemah, Ali Sultan, Cet I, Jakarta Timur : Al Mahira, 2008.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002.



[1] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002. Volume 14, hal : 447-449

[2] . Syaikh Al Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Hal : 195

[3] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002. Volume 7, hal : 164

[4] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002. Volume 1, hal : 353

[5] . Ibid, Volume 5, Hal : 629
[6] . Tafsir Imam Syafi’I, menyelami kedalaman kandungan Al-Qur’an, penerjemah, Ali Sultan, Cet I, Jakarta Timur : Al Mahira, 2008. Hal : 280

[7] . M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah:pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati 2002. Volume 2, hal : 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar